JAKARTA- Suhu panas mulai terasa di pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia. Bahkan, sejumah partai politik secara terang-terangan sudah memunculkan nama ‘jagoannya’ untuk berperang di ajang Pemilu 2024 mendatang.
Puncaknya, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar telah dideklarasikan sebagai bakal calon wakil presiden atau bacawapres mendampingi bakal calon presiden (bacapres) Anies Baswedan.
Memang, kabar ini terbilang mengejutkan mengingat Anies selama ini lebih dikaitkan dengan nama Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Sementara PKM dan Cak Imin kerap disandingkan dengan Prabowo Subianto dan bergabung dengan koalisi pendukung Prabowo Subianto.
Namun, inilah namanya dinamika politik. Meskipun ada pihak yang merasa di beri harapan palsu namun melihat ke depan tentu menjadi suatu keharusan.
Pasca deklarasi ini peta koalisi partai politik dalam pemilu 2024 berubah. Sebelumnya, bakal capres Anies Baswedan diusung oleh Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat.
Kemudian bakal capres Prabowo Subianto diusung oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Namun, setelah deklarasi Anies-Cak Imin, Partai Demokrat mencabut dukungannya untuk Anies. Kemudian PKS menyatakan tetap mendukung Anies, namun belum memberi dukungan eksplisit untuk Cak Imin. Sedangkan PKB keluar dari barisan koalisi pendukung Prabowo, dan beralih menjadi pendukung Anies.
Namun perlu diketahui oleh tim kemenangan Anies-Cak Imin atapun Ganjar dan Prabowo bahwa yang perlu ditakutkan dalam pemilu 2024 mendatang adalah masyarakat yang memilih golput.
Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 34,75 juta orang yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih (golput) pada pemilu tahun2019. Angka ini setara dengan 18,02% dari seluruh daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019 yang sebanyak 192,77 juta orang.
Jumlah pemilih golput pada Pemilu 2019 menurun 40,69% dibandingkan periode sebelumnya. Pada Pemilu 2014, jumlah pemilih golput mencapai 58,61 juta orang atau 30,22%.
Jika dilihat berdasarkan wilayahnya, Jawa Barat menjadi provinsi yang penduduknya paling banyak tidak menggunakan hak pilih. Jumlahnya tercatat sebanyak 5,8 juta jiwa atau 17,43% dari total pemilih di Jawa Barat.
Berkaca pada tingginya pemilih golput, maka kelompok inilah yang harus ditaklukan capres yang akan bertarung di pemilu 2024 mendatang. Jumlah warga yang golput bahkan lebih besar dibandingkan perolehan suara PDI-P yang memenangi pemilu tahun tersebut dengan suara 27,05 juta.
Tingginya partisipasi politik masyarakat menunjukkan bahwa di negara-negara demokrasi, rakyat mengikuti dan memahami masalah politik dan bersedia melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Sementara itu, jika tingkat partisipasi masyarakat yang rendah dapat ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan.
Pada pemilihan presiden atau pilpres 2019, jumlah golput juga tak kalah besar. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebut ada 199.987.870 pemilih dalam Pilpres 2019. Sebanyak 158.012.506 orang menggunakan hak pilih sementara ada sekitar 41,96 juta atau sekitar 20%.
Pasangan Joko Widodo- Ma’ruf Amin memenangi pilpres dengan 85.607.362 atau 55,50% sementara Prabowo-Sandiaga Uno sebanyak 68.650.239 atau 44,50%.
Dengan melihat data historis, jumlah golput diperkirakan masih mencapai puluhan juta. Ada banyak pilihan orang menjadi golput dari mulai tidak masuk daftar pemilih, malas pergi ke tempat pemilihan suara, sakit, harus bekerja, hingga tak punya pilihan yang cocok.
Bila capres mampu meraih setidaknya setengah dari jumlah golput maka perolehan suara mereka diyakini akan langsung melesat. Terlebih, capres tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pendukung parpol untuk mencoblos mereka meskipun partai pilihan mereka sudah mengusung capres tersebut. (CBN/red)