Saksi terdakwa tidak boleh jadi saksi dalam sidang tertutup PN Jakarta Utara.

Niat meluruskan yang penuh dengan kejanggalan perkara jaksa penuntut umum (JPU) dalam suatu peristiwa oleh saksi yang mengetahui langsung awal proses penyidik dan penyelidikan yang dilakukan Polres Jakarta Utara. Padahal saksi hanya memberikan suatu keterangan suatu peristiwa delik hukum yang bukan untuk pembelaan terdakwa.

Agenda sidang yang digelar pada (14 Januari 2025) di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kuasa hukum terdakwa menerangkan, bahwa telah menghadirkan Ahli pidana untuk menjelaskan berdasarkan keahlinya di bidang pidana. Ahli pidana Prof. Dr. Hasudungan Sinaga, MM, MH menjelaskan terkait ketentuan hukum acara pidana mulai dari Proses awal sesorang ditetapkan sebagai tersangka hingga proses awal dapat dilakukan Visum et repertum dan menjadikan hasil visum sebagai alat bukti di persidangan

Menyingkapi perkara pidana Prof. Dr. Hasudungan Sinaga, MM, MH  menambahkan keterangannya bahwa terdapat keraguan terkait hasil dari alat bukti visum et repertum hingga dilakukan simple swab sebagai penunjang atau perbandingan. Jika sudah dilakukan visum namun masih dilakukan pengambilan simple swab, maka disitu terdapat keraguan terhadap hasil Visum yang telah di lakukan oleh pihak yang berwenang.

Menurut kuasa hukum terdakwa Adv. Erwin Kotalima,. S.H. CPM. Bersama Givo Hermanson. S.H Menuturkan serta menanyakan, apakah hasil tes simple swab yang sudah di lakukan oleh penyidik tidak di lampirkan di dalam BAP sebagai alat bukti pembanding Visum et repertum kepada saksi ahli pidana. Kenapa hanya hasil Visum saja yang dilampirkan sebagai alat bukti dalam BAP. Disamping itu Erwin menambahkan bahkan kuasa hukum terdawa juga memperlihatkan bukti vidio pada saat pengambilan simple swab kepada majelis hakim yang mulia di ruang sidang. Tuturnya.

Kuasa hukum terdakwa sangat menyakini bahwa klienya tidak bersalah dan tidak melakukan perbuatan yang di sangkakan atau di dakwakan itu karna terdapat kejagalan dalam fakta- fakta hukum persidangan.

Persidangan di pengadilan pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, kecuali perkara mengenai asusila, ini dijelaskan Pasal 153 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara adalah sebuah forum publik yang resmi dan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Masyarakat umum atau publik boleh hadir dalam proses persidangan di pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum oleh Hakim, namun tidak boleh hadir di dalam sidang tertutup untuk umum, sehingga yang bukan merupakan pihak yang berperkara atau dalam kapasitas sebagai kuasa hukum tidak diperbolehkan hadir.

Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 195 KUHAP menyatakan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum, dan berlaku untuk semua proses persidangan baik yang terbuka maupun tertutup untuk umum. Sedangkan Pasal 168 dan Pasal 169 KUHAP mengatur mengenai pihak-pihak yang menjadi saksi, tidak dapat didengar keterangannya dan dipersilahkan mengundurkan diri sebagai saksi.

Lantas apa tujuan Pasal 168 KUHAP dalam undang-undang yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi yaitu melarang Keluarga sedarah atau dalam konteks hubungan keluarga garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa baik saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga, begitu juga suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Begitu juga Pasal 169 KUHAP, Dalam hal mereka sebagaimana Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum dengan tegas menyetujuinya maka pada ayat (1) Saksi diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah;

Jadi, yang dilarang oleh KUHAP untuk didengar keterangannya sebagai saksi adalah pihak-pihak yang memiliki keterkaitan dengan terdakwa, bukan korban. Sedangkan saudara kandung dan anak kandung korban menjadi saksi hanya untuk membuktikan tindak pidana di pengadilan.

Sebagaimana pandangan Hakim Satyawati Yun Irianti di dalam artikelnya menerangkan Pasal 168 KUHAP wajib melakukan pertama kali Hakim ketua sidang wajib menanyakan kepada saudara kandung yang menjadi saksi tersebut, apakah ia tetap akan menjadi saksi atau akan menggunakan haknya untuk mengundurkan diri menjadi saksi. Kalau saudara kandung terdakwa tersebut menggunakan haknya untuk mengundurkan diri menjadi saksi, maka saudara kandung terdakwa tersebut tidak didengar sebagai saksi dan dipersilakan meninggalkan kursi tempat memeriksa saksi.

Namun Kalau saudara kandung terdakwa tersebut tidak menggunakan haknya untuk mengundurkan diri menjadi saksi, maka Hakim Ketua sidang wajib menanyakan kepada penuntut umum dan terdakwa, apakah penuntut umum dan terdakwa setuju jika saudara kandung terdakwa tersebut menjadi saksi. Jadi selama penuntut umum dan terdakwa dengan tegas menyetujui saudara kandung terdakwa menjadi saksi, maka saudara kandung terdakwa tersebut, sebelum memberikan keterangannya harus disumpah terlebih dahulu (Vide Pasal 169 ayat (1) KUHAP). Sebaliknya, selama penuntut umum dan terdakwa tidak menyetujui saudara kandung terdakwa menjadi saksi, maka saudara kandung terdakwa tersebut didengar keterangannya di luar sumpah.

Jadi aturan-aturan KUHAP yang berhak menentukan apakah ia mau bersaksi atau tidak adalah si saudara kandung terdakwa sendiri, bukan terdakwa dan penuntut umum. Keberatan terdakwa atau penuntut umum tidak membuat saudara kandung terdakwa itu meninggalkan kursi saksi, dan persaksian saudara kandung terdakwa tidak perlu bersumpah.

Mudzakkir juga menjelaskan bahwa masing-masing pihak juga harus paham bahwa tujuan dari sidang tertutup agar tidak memberi stigma kepada anak-anak tetapi juga terkait dengan perbuatan yang memalukan. “Itu menimbulkan rasa malu dalam konteks publik atau dengan kata lain melanggar kesusilaan publik. Nah, itulah yang membuat tidak boleh terbuka untuk umum makna luasnya seperti itu,” jelasnya.

Hubungan Masyarakat (Humas) Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Made Sutrisna berpendapat bahwa prinsip sidang tertutup tak hanya melarang pihak lain (di luar para pihak yang berperkara) hadir di ruang sidang, tetapi juga mencakup larangan bagi para pihak untuk tidak mengekspose materi persidangan. Bukan hanya para pihak, wartawan juga harus memahami definisi sidang tertutup ini dengan tidak memberitakan secara detail sidang kepada umum. “Tapi intinya disebutkan bahwa walaupun tertutup umum itu tidak berarti bahwa sidang itu ‘ecek-ecek’. Tetap profesional, tetap proses pembuktiannya tunduk pada proses yang berlaku. Demi kepentingan susila publik, jadi tidak dipublikasi,” tegasnya.

Pakar Hukum Acara Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda juga berpendapat bahwa persidangan tertutup tidak hanya berarti melarang masyarakat umum melihat dan mendengar proses persidangan, tetapi juga para pihak tak boleh meng-ekspose.

Chairul berpendapat bahwa materi persidangan merupakan rahasia jabatan, sehingga sudah otomatis materi yang berkaitan dengan sidang tertutup untuk umum tidak boleh disampaikan ke publik. “Itu bagian dari rahasia jabatan seorang jaksa, advokat. Itu otomatis, ngga perlu dilarang,” tegasnya.

Lebih lanjut pada pasal 186 KUHAP mengatakan bahwa sebagai pemberi keterangan ahli di dalam sidang pengadilan. KUHAP tidak mengatur khusus mengenai apa syarat didengarkannya keterangan ahli dalam pemeriksaan di pengadilan. Namun selama ia memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana dan diajukan oleh pihak-pihak tertentu, maka keterangannya bisa didengar untuk kepentingan pemeriksaan.

Pertanyaannya?, apa sih Peranan Keterangan Ahli Dalam Penanganan Perkara. Bagi seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri. Tapi mengenai hal-hal yang sesuai di bidang keahliannya berhubungan dengan perkara yang sedang diperiksa. Keterangan ahli adalah suatu penghargaan dan kenyataan atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahliannya. Apabila keterangan ahli diberikan pada tingkat penyidikan, maka sebelum memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu.

Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang diperlukan dalam pembuktian di dalam persidangan, sebab pembuktian merupakan salah satu tahapan penting dalam persidangan. Adapun tujuan dari pembuktian sebagai untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti, tidak meragukan, dan memiliki akibat hukum.

Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang diperlukan, tapi perlu di ingat bahwa dalam hukum acara pidana (KUHP) jangan memberikan keterangan  Palsu, sebab tindak pidana memberikan sumpah palsu dan keterangan palsu diatur dalam Pasal 242 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku yaitu Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, begitu juga jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, sebab  sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.

Jadi bagi ahli yang memberikan keterangan palsu atau menutupi keterangan yang sebenarnya maka pidana pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1 – 4 dapat dijatuhkan. Akibatnya Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu terputus. Kemudian, berdasarkan bunyi Pasal 242 KUHP di atas, kejahatan sumpah palsu dirumuskan dalam ayat (1). Sementara ayat (2) merumuskan alasan pemberatan pidana sumpah palsu, dan ayat (3) merumuskan tentang perluasan pengertian dari sumpah palsu sebagaimana dirumuskan dalam ayat (1).

Lalu, apabila tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP dirinci, setidaknya terdapat unsur- objektif, yang mana dalam keadaan undang-undang menentukan agar memberikan keterangan di atas sumpah, atau mengadakan akibat hukum pada keterangan di atas sumpah. Begitu juga dengan perbuatan memberikan keterangan yang mengandung unsur subjektif, yaitu kesalahan dengan sengaja memberikan keterangan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu.

Sedangkan dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[3] yaitu tahun 2026, tindak pidana keterangan palsu di atas sumpah diatur dalam Pasal 291 dan Pasal 373 yang mengatakan bahwa Setiap Orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, yang dilakukan sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, yang diberikan dalam pemeriksaan perkara dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Namun jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merugikan tersangka, terdakwa, atau pihak lawan, pidananya dapat ditambah 1/3 (satu per tiga).

Sedangkan bunyi Pasal 373 UU 1/2023 adalah Setiap Orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, yang dilakukan sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

Sebagaimana dengan sumpah yang dimaksud pada ayat (1) adalah janji atau pernyataan yang menguatkan yang diharuskan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang menjadi pengganti sumpah. Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d.

Sebagai informasi, pidana tambahan berupa pencabutan hak dalam Pasal 86 huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d UU 1/2023 berupa:

Kemudian berkaitan dengan Pasal 373 UU 1/2023, ketidakbenaran dari keterangan palsu yang dimaksud dalam ketentuan ini harus diketahui oleh orang yang memberi keterangan tersebut. Hal tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 373 ayat (1) UU 1/2023.

Sehingga jerat pasal kesaksian palsu merupakan delik formil (formeel delict), artinya perumusan unsur-unsur pasalnya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik sumpah palsu/keterangan palsu tersebut dianggap telah selesai/terpenuhi dengan dilakukannya perbuatan yang dimaksud dalam rumusan delik tersebut.

Begitu juga dengan Pasal 174 KUHAP, yang mengatakan bahwa apabila keterangan saksi di bawah sumpah dalam suatu persidangan, diduga/disangka sebagai suatu keterangan yang palsu (tidak benar), maka hakim ketua secara ex officio (karena jabatannya) memperingatkan saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar dan juga mengingatkan akan adanya sanksi pidana apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.

Apabila saksi tetap mempertahankan keterangan palsunya, maka hakim ketua secara ex officio (karena jabatannya), atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa (maupun penasihat hukumnya) dapat memberi perintah agar saksi tersebut ditahan. Kemudian, panitera pengadilan akan membuat berita acara pemeriksaan sidang yang ditandatangani oleh hakim ketua dan panitera, dan selanjutnya diserahkan kepada penuntut umum untuk dituntut dengan dakwaan sumpah palsu.

Asep Iwan Iriawan (mantan hakim) menjelaskan dalam praktik, hakim berhak menilai keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti. Secara teknis, saat seorang hakim memiliki keyakinan bahwa saksi berbohong, maka hakim ketua akan menangguhkan sidang untuk bermusyawarah dengan para hakim anggota.[3] Jika musyawarah mencapai kesepakatan, maka majelis hakim akan mengeluarkan penetapan.

Dengan kata lain, tidak diperlukan adanya suatu laporan pidana terlebih dahulu sebelum majelis hakim mengeluarkan penetapan untuk menahan saksi yang diduga bersumpah palsu. Tentunya dengan ketentuan, hakim sebelumnya harus memperingatkan saksi untuk memberikan keterangan yang benar dan mengingatkan adanya saksi pidana.

Jadi, ketegasan hakim sangat diperlukan dalam menegakkan tujuan hukum acara pidana, yaitu mencari kebenaran materiil, khususnya dalam hal ini untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya dari keterangan saksi yang diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah.

Sebaliknya, jika saksi yang diduga memberikan keterangan palsu merasa bahwa keterangan yang diberikannya adalah benar atau tidak palsu, namun tetap diproses, maka berpadanan pada asas presumption of innocence (praduga tak bersalah), soal bersalah atau tidak bersalahnya itu adalah bergantung dari proses pembuktian perkara di pengadilan.

Mengutip pendapat R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan supaya saksi yang diduga memberikan keterangan palsu dapat dihukum, ia harus mengetahui secara sadar bahwa telah memberikan suatu keterangan yang bertentangan dengan kenyataan dan bahwa ia memberikan keterangan palsu ini di atas sumpah dan ketidakbenaran dari keterangan palsu tersebut harus diketahui oleh orang yang memberikan keterangan tersebut.

Jika saksi menyangka bahwa keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, akan tetapi akhirnya keterangan ini tidak benar, dengan kata lain, saksi sebenarnya tidak mengetahui sesungguhnya mana yang benar, maka kebenaran itu belum berarti suatu keterangan palsu. Suatu keterangan palsu itu menyatakan keadaan lain dari pada keadaan yang sebenarnya dengan dikehendaki atau sengaja. (Fahrul Rozi)