JAKARTA – Kehadiran sosok Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani di bursa calon presiden (capres) semakin menguat setelah dideklarasikan oleh sekelompok relawan di Semarang, Jawa Tengah (Jateng), yang sekaligus menyematkan label “ratu adil” kepada Puan. Mampukah sang “ratu adil” memenuhi harapan relawannya untuk menang dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024?
Kendati adanya peringatan dari beberapa ahli yang menganggap sulit bagi Ketua DPR RI Puan Maharani untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2024, beliau dideklarasikan sebagai calon presiden (capres) oleh sejumlah relawannya di Kota Semarang, Jawa Tengah (Jarteng). Hal tersebut dilakukan pada akhir bulan Oktober silam oleh kelompok yang menamakan diri mereka sebagai “Gema Puan.”
Berkebalikan dengan para ahli yang pesimis terhadap prospek Puan sebagai capres, Gema Puan beranggapan bahwa putri dari Megawati Soekarnoputri ini dapat memenangi Pemilihan Presiden (Pilpres) pada tahun 2024 mendatang.
Sejauh ini, PDIP belum menunjukkan sikap yang mendukung atau menentang deklarasi tersebut. Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Dewan Pengurus Pusat (DPP) PDIP Bambang “Pacul” Wuryanto mengatakan bahwa pihaknya tidak memiliki pengetahuan tentang rencana deklarasi yang dilakukan oleh Gema Puan. Beliau juga menegaskan bahwa jajarannya di PDIP telah diperintahkan untuk menjaga persatuan internal dalam rangka memenangi pemilu 2024.
Secara tersirat, hal tersebut menunjukkan bahwa PDIP tidak ingin menunjukkan keberpihakan yang dapat memecah belah partai. Pernyataan Bambang mencerminkan sikap yang ditanamkan oleh PDIP kepada kader-kadernya.
Partai tersebut sebelumnya telah menegaskan bahwa keputusan untuk memberikan dukungan kepada siapapun yang akan menjadi capres terletak di tangan Megawati. Siapapun kader yang tidak menaatinya dengan menunjukkan dukungan mereka terhadap pencapresan orang-orang yang belum direstui oleh Megawati akan menerima hukuman.
Menariknya, hambatan internal tersebut sepertinya juga tidak begitu dipertimbangkan oleh relawan-relawan yang mendeklarasikan pencapresan Puan. Seolah-olah tidak peduli terhadap kenyataan bahwa PDIP belum memberikan dukungannya kepada Puan, Gema Puan yang berharap agar Megawati bisa memberikan dukungannya kepada sosok Puan yang digadang-gadang sebagai “ratu adil” – sebuah julukan yang didasarkan pada ramalan Jayabaya. Mereka juga berpesan agar Megawati tidak khawatir dengan hasil survei-survei elektabilitas Puan yang masih rendah.
Demikian, kita dapat mengajukan sekurang-kurangnya dua pertanyaan. Pertama, seberapa besar peluang Puan memenangi Pilpres yang akan diadakan pada tahun 2024 mendatang? Kedua, apa yang seharusnya dilakukan oleh para relawan untuk meningkatkan peluang Puan menang sebagai “ratu adil” dalam Pilpres tersebut?
Mencari Kesempatan Puan
Sebelum kita bisa membahas strategi pemenangan Puan dalam perjuangannya menjelang Pilpres tahun 2024, kita harus menelisik kembali peluangnya untuk menang dalam pertarungan tersebut. Hal tersebut penting untuk diketahui oleh para relawan dalam rangka menentukan langkah-langkahnya ke depan. Terlebih, kita juga sudah tahu bahwa tingkat elektabilitas Puan sejauh ini berada jauh di bawah pemain-pemain papan atas yang namanya sudah digadang-gadang menjadi capres.
Berdasarkan survei yang diadakan oleh Kompas pada pertengahan bulan Oktober silam, kita menemukan bahwa elektabilitas Puan bahkan tidak menyentuh angka 1 persen. Perolehan skor ini jauh di bawah rival utamanya di PDIP, seperti Ganjar Pranowo yang mencetak skor 13,9 persen – di mana hasil survei ini juga kerap menempatkan nama Menteri Pertahanan (Menhan( Prabowo Subianto. Skor tersebut diperoleh Puan kendati usaha-usaha yang sudah dilakukannya untuk meningkatkan keberadaannya di masyarakat – seperti melalui pemasangan baliho.
Peneliti LSI Denny JA Adjie Alfaraby bahkan telah memperingatkan PDIP tentang risiko kekalahan yang dihadapi oleh mereka apabila Puan benar-benar dijadikan capres yang akan bertanding dalam Pilpres pada tahun 2024 mendatang. Tidak heran apabila PDIP sangat berhati-hati dalam menyikapi pencalonan Puan – meskipun beberapa dari mereka berkeinginan untuk melakukan hal tersebut.
Namun, keadaan tidak sepenuhnya buruk bagi Puan. Adjie juga mengungkapkan bahwa Puan memiliki potensi yang cukup besar.
Menariknya, Puan memiliki tingkat popularitas sebesar 61 persen – angka yang sangat melampaui tingkat elektabilitasnya. Hal tersebut dapat menjadi alat bagi Puan untuk meningkatkan elektabilitasnya menjelang Pilpres nanti.
Tidak lupa, Adjie menekankan bahwa Puan masih memiliki waktu yang banyak untuk memperbaiki keadaan sehingga bisa memperoleh restu Megawati untuk menjadi capres yang diusung oleh PDIP.
Sejak diikrarkan cita-cita persatuan itu terus bergaung menjaga persatuan Indonesia dari kota besar hingga pulau terluar dan perbatasan terjauh.
Keragaman yang membuat Indonesia kuat. Kebhinekaan yang membuat Indonesia tangguh.
— Puan Maharani (@puanmaharani_ri) October 28, 2021

Hasil survei tersebut bukan tanpa bukti yang konkret. Dalam Pemilu Legislatif (pileg) yang diadakan pada tahun 2019, Puan merupakan anggota dewan yang terpilih dengan suara terbanyak di daerah pemilihan (dapil) tempat dia bertanding. Dengan perolehan sebanyak 404.034 suara, Puan berada jauh di atas Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang hanya memperoleh 263.510 suara.
Lebih dari itu, jumlah suara yang diperoleh Puan juga mengalahi Fadli Zon yang hanya memperoleh 230.524 suara. Demikian, tidak berlebihan apabila relawan Puan memiliki optimisme terhadap pencalonannya sebagai capres usungan PDIP.
Mengenal Pemilih Indonesia
Sesudah memahami peluang yang dimiliki oleh Puan apabila dirinya ingin menjadi capres, kita juga harus mencari tahu pasar elektoral yang dihadapi olehnya. Dalam kasus ini, kita harus mencari tahu karakteristik pemilih di Indonesia.
Hal tersebut akan menjadi semakin penting apabila kita turut mempertimbangkan keputusan relawan Puan untuk menyematkan label “ratu adil” kepada diriny. Seberapa efektifkah pelabelan tersebut dalam menarik suara dari para pemilih?
Jika kita mengacu kepada tulisan analis politik senior Saiful Mujani dan akademisi Ohio State University William Liddle, kita dapat menemukan bahwa pemilih di Indonesia cenderung bersikap rasional. Lebih dari itu, sikap rasional tersebut semakin menguat seiring dengan pelaksanaan berbagai pemilu dari tahun 1999 hingga 2009.
Sikap rasional tersebut ditunjukkan misalnya dalam hasil pemilu 2009 yang memenangkan pasangan calon (paslon) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono. Keduanya dianggap lebih mampu untuk mengurusi persoalan hubungan internasional dan ekonomi ketimbang Megawati yang diusung oleh PDIP.
Hal tersebut sesuai dengan teori pemilih rasional yang disinggung oleh Saiful dan Liddle. Dalam salah satu karangannya, mereka mengartikan pemilih rasional sebagai aktor yang melakukan analisis untung-rugi dari keputusannya di ranah elektoral.
Kendati demikian, Saiful dan Liddle juga mengutarakan bahwa tidak semua pemilih Indonesia memiliki sikap yang rasional. Mereka menemukan bahwa masyarakat di daerah pedalaman tidak begitu memikirkan prospek keuntungan atau kerugian dari keputusan mereka dalam memilih salah satu paslon pada hari pemilu. Di daerah-daerah itu, label “ratu adil” yang digunakan untuk mempromosikan Puan sebagai sosok yang dapat menyelamatkan masyarakat mungkin dapat digunakan secara efektif.
Bahkan, sikap tidak rasional tersebut akhir-akhir ini tidak hanya ditemukan di masyarakat-masyarakat pedesaan. Hal tersebut menjelmakan dirinya dalam kampanye-kampanye menjelang Pilpres yang diadakan pada tahun 2019.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menemukan bahwa masyarakat pada saat itu juga terpengaruhi oleh politik identitas. Hal tersebut menunjukkan bahwa sikap rasional bukanlah suatu hal yang mutlak ditemukan dalam diri pemilih di Indonesia.
Menggadang “Ratu Adil”
Bicara strategi, Puan dan relawan-relawannya harus memperhatikan survei yang menunjukkan posisi mereka dalam panggung politik nasional apabila ingin menyusun rencana kampanye di daerah-daerah perkotaan. Hasil lembaga-lembaga survei sepatutnya tidak diremehkan atau bahkan tidak dihiraukan sama sekali.
Melalui survei-survei tersebut, masyarakat di perkotaan akan membuat dan menyampaikan penilaian mereka terhadap Puan. Maka dari itu, peningkatan posisi Puan dalam survei-survei yang akan dilaksanakan menjadi suatu hal yang penting untuk diupayakan.
Sementara itu, para relawan bisa menerapkan strategi yang lebih leluasa dalam upayanya untuk menggalang suara di daerah-daerah pedesaan. Di situ, mereka dapat menggadang-gadang Puan sebagai “ratu adil” yang bisa menjawab berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat.
Gema Puan mengatakan bahwa mereka telah membidik 12 provinsi yang akan diupayakan sebagai basis Puan. Tentunya, provinsi-provinsi tersebut harus dipilih dengan jeli.
Namun, Puan dan para relawan tetap harus melakukan creative destruction terhadap konsep “ratu adil” itu sendiri. Seperti yang digariskan oleh ekonom asal Austria Joseph Schumpeter, creative destruction berarti membentuk suatu hal yang baru dari unsur yang lama. Artinya, konsep “ratu adil” yang menggambarkan sosok pemimpin bijaksana yang hadir dalam masa-masa krisis harus disesuaikan agar bisa menjawab permasalahan-permasalahan yang sedang ada secara rasional.
Demikian, menarik untuk melihat kelanjutan Gema Puan dan Puan Maharani. Dengan penggambarannya sebagai sosok “ratu adil,” dapatkah dirinya menggalang suara di daerah-daerah pedalaman? Kemudian, apakah strategi yang berbeda akan dibentuk dan digunakan untuk mengamankan suara di daerah-daerah perkotaan yang warganya lebih rasional dalam memilih capresnya? Mari kita tunggu langkah-langkah selanjutnya. (B68)