Rumah Pengungsian Soemitro Kolopaking Zaman Kolonial Belanda

Pada zaman kolonial Belanda, Soemitro Kolopaking pernah mengungsi di dukuh Kalipetung, Dusun Banjaran, Desa Pesangkalan. Menurut sesepuh Desa Pesangkalan Mbah Karto. Diberi nama dukuh Kalipetung sebab Kalipet-lipet Ora Keetung (Terlipat-lipat tidak terhitung) sehingga tentara belanda tidak bisa menemukan Soemitro Kolopaking yang sedang dalam pengejaran tentara Belanda.

Desa Pesangkalan pernah menjadi wilayah Kabupaten Kebumen, sebelum tahun 1927. Namun sejak Pemerintahan Bupati Soemitro Kolopaking (1927) dan era Kepala Desa Braja Wijaya (1927-1942), Pesangkalan menjadi bagian dari Kecamatan Banjarnegara, masuk pada wilayah Kabupaten Banjarnegara. Konon menurut cerita mbah Karto, ketika itu ada sebuah tantangan dari Aroeng Binang Bupati Kebumen kepada Soemitro Kolopaking Bupati Banjarnegara, Jika Soemitro Kolopaking bisa memindahkan Pohon Beringin Kembar yang ada di Kebumen maka Desa Pesangkalan menjadi wilayah Kabupaten Banjarnegara. Dengan Desa Pesangkalan yang dijadikan mahar, akhirnya Soemitro berhasil menjawab tantangan Aroeng Binang dengan memindahkan Beringin Kembar di Kebumen ke Alun-Alun Banjarnegara.

Menurut penuturan Karto yang saat itu mengasuh putra Soemitro di pengungsian, “Ndoro Kanjeng mengungsi selama 1 Tahun di rumah orang tua saya. Dalam masa pengungsiannya, Ndoro Kanjeng membawa istri, 3 orang anaknya. 3 orang anaknya yaitu Poerboyo, Ndarati, Jengati”.
“Angger Poerboyo karo Bapakane pinter Poerboyo, Poerboyo pinter kendati banyu, madahi banyu nang keranjang” tutur mbah Karto.

Poerboyo saat itu masih anak-anak, sedangkan untuk Ndarati ataupun Jengati waktu mengungsi di desa Pesangkalan sekitar umur 35 hari.
Setelah masa pengungsian, kemerdekaan hingga saat ini mbah Karto menjalani rutinitas di alas (hutan) dan sama sekali tidak pernah bertemu dengan anak, cucu, keturunan dari Soemitro Kolopaking.

Saat ini rumah pengungsian tersebut di huni oleh mbah Parno dan putranya Miswan yang masih saudara dari Karto dan kamar tempat peristirahatan Soemitro Kolopaking tidak dipakai, namun kadang diperuntukan untuk sholat.

Mbah Karto sangat berharap dan ia merasa senang apabila anak, cucu ataupun keturunan dari Soemitro Kolopaking datang untuk mengunjunginya di desa Pesangkalan.
(Wisnu, Sandy)