Andri Tedjadharma, pemegang saham Bank Centris Internasional, terus bersuara atas apa yang dialaminya. Kali ini, tentang putusan kasasi dalam perkara MA TUN no 227 K/TUN2024. Diawali dengan pertanyaan untuk publik merenung: benarkah semua putusan hukum mencerminkan keadilan?
Andri menjawab pertanyaannya itu dengan tegas, dari pengalaman pribadinya, jawabannya adalah tidak. Bahkan, sering kali, putusan hukum justru mengingkari logika, fakta, dan rasa keadilan itu sendiri.
Sebagai penggugat dalam perkara No. 227 K/TUN/2024 di Mahkamah Agung, ia mendapatkan kenyataan pahit bahwa hakim agung bisa membuat putusan yang tidak hanya tidak adil, tapi juga tidak logis dan menyesatkan.
Dalam perkara itu, kata Andri, putusan yang dikeluarkan oleh Hakim Agung Julius adalah “NO” atau niet ontvankelijke verklaard—yang artinya perkara dianggap tidak dapat diterima, sehingga substansi gugatan tidak diperiksa sama sekali.
Logika putusan ini mengingatkan saya pada contoh silogisme berikut: Semua manusia akan mati. Saya manusia. Maka saya akan mati. Ini adalah silogisme yang logis, absolut, dan dapat dianalisis secara rasional.
Namun bandingkan dengan ini: Semua gubernur adalah warga negara Indonesia. Saya warga negara Indonesia. Maka saya gubernur. “Jelas ini sesat secara logika.
Begitu pula dengan logika yang dipakai Hakim Julius,” ujarnya.
Menurutnya, putusan yang dikeluarkan tidak menjawab pokok perkara. Analoginya seperti ditanya, “Bapak sudah makan belum?” lalu dijawab, “Di sana ada tabrakan antara truk dan mercy, tapi yang hancur justru honda.” Itulah gambaran betapa absurd dan kaburnya logika putusan tersebut.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, sebut Andri, kita sekarang tidak lagi hanya berhadapan dengan kesesatan logika silogisme, tetapi dengan kekacauan hukum yang jauh lebih serius. Salah satunya adalah munculnya salinan putusan Mahkamah Agung No. 1688 K/PDT/2003, yang tidak terdaftar dalam sistem resmi MA, tetapi digunakan oleh otoritas untuk menyita harta pribadinya. “Ini sama saja dengan menggunakan salinan putusan palsu,” jelasnya.
Pertanyaan besarnya: mau dibawa ke mana negara ini? Jika putusan palsu bisa dijadikan dasar hukum, apakah kita masih hidup dalam negara hukum, atau justru kembali ke era hukum rimba, di mana yang kuat yang menang?
“Saya bukan menolak kalah. Saya hanya menuntut keadilan yang benar dan jujur. Bila saya kalah karena argumen saya lemah, saya bisa terima. Tapi bagaimana mungkin saya bisa menerima jika perkara saya bahkan tidak diperiksa isinya, dan diselesaikan dengan logika sesat serta salinan putusan yang tidak terdaftar?” tuturnya.
Kekhawatiran ini bukan hanya milik Andri seorang. Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, dalam pernyataannya menanggapi penangkapan salah satu hakim agung oleh KPK pada 2022, mengatakan:
“Peristiwa ini sangat memprihatinkan karena membuktikan mafia hukum masih bercokol bahkan di Mahkamah Agung, melibatkan hakim agung sendiri.” (Detik.com, 23 September 2022)
Bamsoet menambahkan: “Tamparan keras bagi institusi MA, sekaligus peringatan bagi semua penegak hukum: hentikan praktik main-main dengan hukum.”
Dalam pernyataan terbarunya, Jumat (18/4), Anggota Komisi III DPR-RI asal Partai Golkar ini, menegaskan: “Semua berharap MA dan komunitas hakim memastikan dan memberi jaminan bahwa benteng keadilan itu tetap kokoh dan berfungsi sebagaimana mestinya,” ujarnya.
Pernyataan Bamsoet itu sangat tepat. Karena selama kita membiarkan putusan-putusan sesat ini terus berjalan tanpa koreksi, maka kerusakan sistem hukum kita akan semakin dalam dan tak bisa diselamatkan.
Oleh karena itu, Andri menuntut agar perkara No. 227 K/TUN/2024 dibuka kembali melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK). “Ini bukan semata demi saya pribadi, tapi demi menjaga martabat hukum itu sendiri. Jika tidak, publik akan semakin kehilangan kepercayaan, dan sistem hukum kita akan berubah menjadi panggung teater—penuh sandiwara, tanpa keadilan sejati,” pungkasnya.
