JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengawasi ketat program pembangunan yang bersumber dari Dana Desa yang jumlahnya sangat fantastis hingga ratusan triliun.
Perlu diketahui, pemerintah telah menggelontorkan Dana Desa sebesar Rp400.1 triliun untuk mendukung program tersebut sejak 2015 sampai 2021.
“KPK telah menaruh perhatian serius terkait pencegahan korupsi dana desa,” kata Plt juru bicara bidang pencegahan KPK Ipi Maryati melalui keterangan tertulis, Senin (10/1/2022).
Ipi mengatakan, KPK telah membuat kajian tentang titik rawan korupsi dalam program dana desa. Setidaknya, KPK mencatat ada 14 potensi permasalahan dalam empat aspek dalam program tersebut.
“Yaitu regulasi dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan, dan sumber daya manusia,” ujar Ipi.
Ipi mengatakan, titik rawan korupsi dalam aspek regulasi dan kelembagaan terjadi pada potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa pada Kementerian Dalam Negeri.
Selain itu, kelengkapan regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan dalam pengelolaan dana desa juga menjadi titik rawan terjadinya permasalahan.
Lalu, pada aspek tata laksana, KPK mencatat adanya lima masalah. Pertama, terkait dengan kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa yang sulit dipantau. Kedua, terkait dengan satuan harga barang atau jasa yang menjadi acuan dalam penyusunan anggaran yang sampai saat ini belum ada.
“Kemudian transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran belanja desa masih rendah, laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi, serta APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa,” jelas Ipi.
Dalam aspek pengawasan, KPK mencatat adanya tiga potensi masalah yang bakal terjadi. Pertama, terkait efektivitas kinerja inspektorat daerah dalam mengawasi program itu. KPK menilai, pemantauan yang dilakukan inspektorat masih lemah saat ini.
“Saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah, serta ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan, belum jelas,” ucap Ipi.
Dalam aspek sumber daya, KPK menilai perekrutan pendamping masih belum maksimal. Lembaga Antikorupsi menyarankan perekrutan tenaga kerja pendamping dalam penyaluran dana desa menggunakan pihak yang sudah profesional dan cermat.
“Mengingat adanya kasus korupsi dan kecurangan yang dilakukan tenaga pendamping oleh penegak hukum. Umumnya para oknum pendamping tersebut melakukan korupsi atau fraud dengan memanfaatkan kelemahan aparat desa dan longgarnya pengawasan pemerintah,” tutur Ipi.
KPK meminta seluruh kepala desa dan pemangku kepentingan terkait mempertimbangkan kajian itu. Kajian tersebut diyakini bisa membuat program dana desa terealisasi dengan maksimal.
KPK juga bakal melakukan pemantauan yang ketat terkait dengan pelaksanaan program itu. Pemantauan dilakukan agar proyek tersebut tidak menjadi ladang korupsi, dan bisa bermanfaat untuk masyarakat desa.
“KPK meyakini potensi risiko dalam pengelolaan keuangan desa akan lebih besar apabila aparat desa, pemerintah pusat, dan masyarakat tidak bersinergi mengawasi penggunaan anggaran yang besar tersebut,” ucap Ipi.
Masyarakat desa juga diminta membantu KPK, untuk memantau kinerja pejabat di wilayahnya masing-masing. Masyarakat desa diminta tidak segan melaporkan ke KPK jika mengetahui adanya dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan program dana desa.
“KPK mengajak masyarakat untuk berperan serta dalam mengawal dana desa, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat desa sesuai dengan tujuannya,” kata Ipi. (adiet)