Ada cerita masyarakat yang masih melegendag hinggga saat ini di antara Kecamatan Karangmoncol dan Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, bahwa Islam pertama di tanah Jawa pertama kali disyiarkan oleh seorang yang bernama Syekh Jambukarang. Syiar Islam yang dilakukan Syekh Jambukarang dan keturunannya di wilayah yang nantinya disebut sebagai Perdikan Cahyana, menurut masyarakat sekitar sudah dilakukan jauh sebelum syiar yang dilakukan oleh Wali Sanga.
Seperti dituturkan oleh garis keturunan atau trah Bumi Cahyana yaitu Cacak Rudianto dan Itan Bayu Widodo, salah satu cerita yang sering diceritakan ketika menanyakan perihal Syekh Jambukarang, bahwa dia adalah salah satu anak raja di Kerajaan Pajajaran yang enggan menerima gelar sang ayah dan memilih jalan menjadi seorang pertapa. Ia bertapa di wilayah sekitaran Banten. Pada suatu ketika, Syekh Jambukarang yang memiliki nama asli Raden Mundingwangi ini melihat cahaya putih menjulang ke langit di wilayah timur. Disusurilah jalan agar sampai pada sumber cahaya tersebut. Sampai pada suatu ketika, Syekh Jambukarang sampai pada suatu tempat yang bernama Gunung Panungkulan dan bertapa di sana, datang seorang lagi yang menurut pengakuannya juga melihat cahaya itu saat shubuh. Orang ini adalah Syekh Atas Angin, dari jazirah Arab. Singkat cerita, kedua ahli kebatinan ini beradu ilmu dengan jaminan, barang siapa yang kalah harus jadi pengikut ajaran si pemenang. Pada akhir pertarungan, Syekh Jambukarang mengaku kalah dan akhirnya masuk Islam. Sebagai bentuk tanda hormat pula, Syekh Jambukarang menikahkan Syekh Atas Angin dengan putrinya yang bernama Rubiyah Bekti. Anak keturunan dari pernikahan Syekh Atas Angin dan Rubiyah Bekti inilah yang akan meneruskan perjuangan syiar Islam di Wilayah yang nanti akan dikenal sebagai wilayah Perdikan Cahyana.
Banyaknya riwayat yang mengisahkan sosok Syekh Jambu Karang membuat banywk cerita antara fakta dan mitos, sekaligus menambah kemisterian dan kelegendaan tokoh ini. Namun, apabila kita menggunakan acuan penerima Piagam Perdikan Cahyana yang disusun A.M Kartosoedirdjo dalam naskah Tjarijos Panembahan Lawet yang disusun pada tahun 1941, menyebutkan bahwa Pangeran Wali Prakosa, canggah dari Syekh Jambu Karang, menerima Piagam Perdikan Cahyana dari Sultan Demak bertahun 1403 AJ/1481 M.
Satu jurnal lagi menyebutkan bahwa, pada tahun 1194, Raja Pajajaran waktu itu, Raja Mundingsari memerintahkan Empu Adilangu untuk menulis perihal Prabu Banjaransari. Raja Mundingsari yang dalam jurnal tersebut tidak diketahui lebih lanjut mengenai pribadinya, menugaskan penulisan cerita kejayaan nenek moyangnya dalam rangka meninggikan khrasima raja yang sedang memerintah di mata rakyat. Jika Raja Mundingsari yang dimaksud di atas adalah adik dari Pangeran Mundungwangi yang tak lain adalah Syekh Jambu Karang yang menolak menjadi raja dan memilih menjadi pertapa, maka bisa dikatakan pula bahwa Syekh Jambu Karang hidup pada masa akhir abad ke 12 hingga awal abad ke 13.
Wilayah Cahyana pada masa Kerajaan Sunda terletak di wilayah paling Timur kerajaan tersebut. Kerajaan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran (Sekitaran Bogor) pada wilayah Timur berbatasan dengan Kerajaan Kediri pada tahun 1194 M. Pada tahun tersebut, raja Mundngsari menyuruh Empu Adilangu menulis perihal Prabu Banjaransari. Kerajaan Sunda sendiri memiliki struktur birokrasi, dimana di tingkat pemerintahan pusat, kekuasaan tertinggi berada di tangan raja. Dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari, Raja dibantu oleh Mangkubumi yang membawahi beberapa orang Nunangganan. Di samping itu, terdapat pula putera mahkota, yang akan menggantikan kedudukan sang raja jka raja meninggal dunia atu mengundurkan diri. Untuk mengurus daerah-daerah yang luas, raja dibantu oleh beberapa orang raja daerah. Raja-raja itu dalam melaksanakan tugas mereka sehari-hari bertindak sebagai raja yang merdeka, tetapi mereka tetap mengakui raja Sunda yang bertahta di Pakwan Pajajaran atau Dayo sebagai junjungan mereka.
Di samping itu, ada pula pejabat-pejabat lain seperti punggawa, sentana, prajurit bawahan dan wadya bala. Dalam kelompok hirarki, sebenarnya mereka ini dapat digolongkan tidak ada penjelasan yang lebih mendalam, namun walau bagaimanapun juga pejabat-pejabat itu memang ada dan duduk dalam susunan pemerintahan. Sedangkan daerah dapat dikatakan merupakan miniatur pusat (keraton). Daerah-daerah dipimpin oleh raja-raja daerah. Raja-raja daerah merdeka dalam melaksanakan pemerintahan sehari-hari. Mereka ini mengakui raja di pusat kerajaan sebagai junjungannya, setiap tahun ada waktu-waktu tertentu di mana raja-raja daerah harus datang untuk menghadap raja di keraton sambil menyerahkan hadiah (upeti). Pesisiran dipimpin oleh Syahbandar yang bertindak atas nama raja dan berdaya upaya untuk kepentingan raja.
Di tingkat desa, pada masa itu dikenal istilah Ki Lurah Umbul Sapraya yang bertugas sebagai penyelenggara pemerintahan sehari-hari di tingkat pedesaan. Pada wilayah perbatasan juga terdapat Juru Tamping sebagai prajurit penjaga wilayah perbatasan kearajaan dan bertugas pula sebagai mata-mata. Kurang lebih, pada struktur birokrasi semacam inilah Syekh Jambu Karang hidup di masa Raja Mundingsari (Adiknya (?) ) berkuasa. Syekh Jambu Karang yang dalam manuskrip Cariyos Redi Munggul bertapa di wilayah yang sekarang masuk ke dalam Provinsi Banten bisa dikatakan dalam golongan kaum Agamawan.
Kaum agamawan pada abad X–XI di Kerajaan Sunda terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama, adalah mereka yang hidup di keraton. Mereka dapat dikatakan hanya sebagai simbol kekuasaan raja di bidang spiritual. Kaum agamawan ini dituakan dalam istananya, namun tidak mempunyai pengaruh apa-apa dalam roda pemerintahan. Bilamana raja sedang tidak berada di keraton dan situasi dalam keadaan genting, brahmana-brahmana ini terkadang dimintai nasihatnya. Kelompok kedua, adalah penguasa-penguasa kecil di pertapaan-pertapaan di gunung atau hutan. Mereka ini kerapkali berjasa kepada raja, apakah karena menemukan benda-benda pusaka kerajaan, karena peramal, atau karena dianggap sebagai pelindung keluarga raja yang tersesat di hutan, atau bahkan penyembuh penyakit.
Dari gambaran tersebut dijelaskan, setelah Raden Mundingwangi atau Syekh Jambu Karang menolak menjadi Putera Mahkota, ia memilih menjadi seorang Brahamana pertapa di gunung atau hutan. Kedudukannya ini menjadikan dia tidak memiliki kaitan langsung dengan jalannya pemerintahan pada masa itu. Sampai pada suatu ketika, saat dia melihat pancaran sinar di Timur, seperti pada cerita di Cariyos Redi Munggul, sampailah Syekh Jambu Karang di Gunung Panungkulan (masih dalam wilayah Kerajaan Sunda). Singkat cerita, setelah pertemuannya dengan Syekh Atas Angin dan menjadi seorang Muslim, dia menikahkan putrinya, Rubiyah Bekti dengan Syekh dari Jazirah Arab itu.
Pertemuan Syekh Jambu Karang dan Syekh Atas Angin di Gunung Panungkulan dan pengislamannya di Gunung Kraton, yang notabene jauh dari pusat pemerintahan baik desa atau pusat, menjadikan Islam secara perlahan bisa dipahami dan didalami dalam keadaan diri yang tenang dan damai. Hingga memiliki 5 orang cucu, yaitu Pangeran Mahdum Khusen, Pangeran Machdum Omar, Pangeran Machdum Madem, Rubiyah Raja, dan Rubiyah Sekar.
Setelah sekitar 40 tahun berada di Cahyana, Syekh Atas Angin memutuskan untuk kembali ke Arab. Dengan demikian, misi penyebaran agama Islam dilanjutkan oleh anak sulungnya, Pangeran Machdum Khusen. Mahdum Khusen sebagai cucu dari Syekh Jambu Karang memimpin dakwah di wilayah itu pada saat ajaran sang Ayah dan Kakeknya sudah mulai memiliki banyak pengikut.
Wilayah Cahyana yang berada di ujung Timur Kerajaan Sunda, di mana ditempatkan pula Juru Tamping sebagai prajurit penjaga wilayah perbatasan kearajaan dan bertugas pula sebagai mata-mata menjadikan aktivitas dakwah Islam Pangeran Mahdum Khusen menarik perhatian para Juru Tamping.
Laporan para Juru Tamping ini ke Pakuan Pajajaran membuat pemimpin pusat kerajaan Sunda masa itu resah. Akhirnya, Pakuan Pajajaran memutuskan untuk melakukan penyerangan ke wilayah Cahyana dalam rangka meredupkan penyebaran Islam di wilayah tersebut.
Namun, rencana tersebut diketahui oleh Syekh Machdum Khusen yang melihat rombongan obor di waktu petang di seberang desa. Syekh Machdum Khusen segera mengumpulkan kaum perempuan di serambi untuk memainkan alat musik rebana yang besar-besar. Setelah menulis lembar syair doa untuk dilantunkan, Syekh Machdum Khusen segera bermunajat kepada Allah SWT. Ketika prajurit Pajajaran datang, suara gaung Rebana tiba-tiba berubah menjadi suara dengungan tawon gung yang jumlahnya ribuan yang menyerang pasukan Pajajaran. Pasukan Pajajaran akhirnya gagal melakukan penyerangan dan Islam tetap menjadi keyakinan di wilayah Cahyana pada masa itu.
Wilayah Perdikan sendiri atau dalam masa Hindu disebut sebagai wilayah Sima merupakan wilayah yang dianugerahkan kepada pejabat desa atau perorangan dengan hak dan kewajiban tertentu dari Raja atau pemberi status itu. Fungsi utama dari wilayah Perdikan ini sebagian besar berkaitan dengan pemeliharaan bangunan suci dan pengembangan pendidikan agama dan syiar agama. Wilayah perdikan juga memiliki beberapa hak yang salah satunya adalah bahwa wilayah tersebut bebas dari pajak. Status wilayah Cahyana menjadi wilayah Perdikan baru tercatat dalam sejarah saat nama Pangeran Wali Perkosa tercatat dalam Serat Kekancingan dari Kerajaan Demak berangka tahun 1403 Saka atau 1408 Masehi.
Dalam Serat Kekancingan itu Sultan Demak mengukuhkan Cahyana sebagai tempat Peperdikaning Allah.
Sebagaimana disalin oleh Aspirant Controleur C.J. Hasselman (1887) dalam “De Perdikan Dessa’s in Het District Tjahijana; Tijdschrift voor het Binnenland Bestuur (deel I)” yang berbunyi :
“Penget lajang kang idi Pangeran Sultan ing Demak. Kagaduga dening Mahdum Wali Prakosa ing Tjahjana. Mulane anggaduha lajang ingsung dene angrowangi amelar tanah, sun tulusaken Pamardikane pesti lemah Pamardikane Allah, tantaha ana angowahana ora sun wehi suka halal dunja aherat. Anaha anak putu aba aniaja. Mugaha kena gutukking Allah lan oliha bebenduning para Wali kang ana ing Nusa Djawa. Estu jen peperdikaning Allah. Titi”.
Syekh Machdum wali Prakosa sendiri diakui sangat berjasa dalam proses pendirian Masjid Demak yang kemudian menjadi latar belakang diberi gelar sebagai “Wali Prakosa”. Pada mulanya, atas perintah kakaknya, Syekh Machdum Tores, Syekh Machdum Wali Prakosa diminta menghadap Sultan Demak. Syekh Machdum Wali Prakosa diterima oleh Raden Patah yang ternyata mengenal tempat asal beliau sebagai Cahyana Karabal Minal Mukminin. Kemudian Sultan meminta beliau untuk membantu menyelesaikan pendirian Masjid Agung Bintara yang masi kekurangan satu tiang. Syekh Machdum Wali Peakosa menyanggupunya, kemudian membuat sebuah tiang dari saka tatal dibantu oleh Sunan Kalijaga. Sebagaimana tertera dapa teks Cariyosipun Redi Munggul berikut :
“… Kacariyos Pangeran Kalijaga saweg tapa ing Giri Mlaka, sidik paningalipun lajeng jengkar. Sakdinten sakndalu saged dumugi ing Demak. Anjujug lenggah ing pancabrakan, pinanggih kaliyan Pangeran Wali Prakosa. Pangeran Kalijaga ataken ‘Lho Si Anak napa sing dadi bubuhan andika?’ Pangeran Wali Prakosa mangsuli, ‘Kula kabubuhan saka satunggal’. Pangeran Kalijaga mangsuli malih, ‘Heh Anak, kula kang badhe ambantu nggrabahi sarta ngalus’. Nunten Wali kakalih wau enggal tumandang nyambut damel, sami mendet tatal.Lajeng dipungulingaken kaping sakawan insya Allah ta’ala iman tokhid ma’ripat Islam, tatal dados blabag, kaelus nunten dados balok”.
Pembangunan Masjid Demak sendiri dikerjakan malam hari ketika Lintang Waluku naik. Akan tetapi pada saat matahari sudah tampak, kelihatan kiblat Masjid tdak tepat atau menceng. Kemudian Pangeran Wali Prakosa diminta oleh para Wali untuk meluruskannya. Kemudian Pangeran Wali Prakosa berkata:
“Monggo sami nenuwun ing Allah, kawula ingkan dadhos Palu (dedonga), kanjeng Wali saha Susushanan ingkang dadhos gandhen (ngijabahi).”
Kasultanan Demak dalam Serat Kekancingan yang isinya diketahui bahwa Sultan Demak memberikan Lajang Pamardikan kepada Makhdum Wali Prakosa di Cahyana. Lajang Pamardikan Sultan Demak sendiri Ditengarai merupakan bentuk lain politik balas jasa. Di sisi lain, Sultan memberikan pengakuan eksistensi teritorial tanah perdikan pada “Kaum Pengalasan Kilen” atas jasanya membantu Demak, di satu sisi lagi juga berimplikasi pengakuan de jure kedaulatan Demak atas wilayah Pengalasan Kilen. Terlebih, pada waktu yang sama Sultan juga memberikan Lajang Pamardikan kepada Pasir Luhur dan melantik Banyak Belanak sebagai Pangeran Senopati Mangkubumi.
Piagam ini menguatkan eksistensi Perdikan Cahyana dengan gutukullah, gutuking Allah, bebenduning para wali, dan ora olih berkahingsun. Kutukan itu diumumkan oleh seorang raja yang mengeluarkan piagam untuk selalu diperhatikan oleh anak-cucu raja tersebut agar mereka tidak berani mengubah status perdikaning Allah di Cahyana.
Legitimasi raja-raja Jawa muslim sangat diperlukan untuk mendukung pemerintahan sipil di Kademangan Cahyana. Berikut ini adalah para penerima piagam Perdikan : (1) Pangeran Wali Prakosa dari Sultan Demak (1402 AJ), (2) Pangeran ali Mahdoem Thahjana dari Sultan Pajan (1503 aj), (3) Kiai Mas Pekeh, Kiai Mas Barep, dan Nyai Saratiman dari Sultan Pajang (1530 AJ); (4) Kiai Waringin dari Mataram (1550 AJ); (5) Pangeran Sarawetjana I dari raja Mataram (1565 AJ); (6) Kiai Bagoes Kerti dari Susuhunan dari Kartasura (1605 AJ); (7) Kiai Wangsadjiwa II dari Susuhunan Surakarta (1675 AJ); (8) Kiai Sarawetjana II dan Kiai Saradjiwa dari Susuhunan Surakarta (1715 AJ); (9) Kiai Sarawetjana III (Pekiringan Lama), Kiai Mertadiwirja I (Pekiringan Bedhahan), dan Kiai Redja Moehammad I (Pekiringan Kauman) dari Susuhunan Surakarta (1730 AJ) .
Seperti yang sudah disebutkan di atas, wilayah Perdikan merupakan wilayah bebas pajak yang keberadaannya difungsikan untuk merawat bangunan suci dan prosesi sakral keagamaan. Namun, semenjak ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, yang membelah kerajaan Mataram Islam menjadi Kasunan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat mengubah lanskap pemerintahan di Perdikan Cahyana.
Sejak saat itu wilayah Perdikan Cahyana yang tadinya dipimpin oleh mereka yang mewarisi keilmuan dari para leluhur diganti oleh pemerintah kolonial dengan orang dari luar yang tidak memahami bahkan mewarisi keilmuan Perdikan dan hanya berstatus Demang. Lantaran status sosial Demang yang terpandang di masyarakat kala itu, para demang dari luar daerah Cahyana ini mengkultuskan dirinya sebagai pewaris yang sah dari ajaran Perdikan.
Beberapa nama demang yang tercatat dalam beslit dari Kangjeng Gupermen adalah Kiai Soeraredja, Pekiringan Anyar, 26 Oktober 1854 No. 5; Kiai Kertadjiwa, Makam Kidul, 26 Oktober 1854 No. 5; Kiai Ranoewidjaja, Rajawana Kidul, 26 Oktober 1854, No. 5; Kiai Mangoendikrama, Pekiringan Bedhahan, 13 Desember 1854, No. 113; Kiai Joedakrama, Makam Wadhas, 10 November 1855, No. 15; Kiai Soetadiwirja, Grantung Gerang, 15 Februari 1861, No. 42; Kiai Warsadikrama, Grantung Andhap, 2 Agustus 1862, No. 6; Kiai Bawadi Redja Moehammad, Pekiringan Kauman, 2 Agustus 1862, No. 14; Kiai Kertadiwirja, Grantung Kidul, 3 Maret 1863, No. 19; Kiai Ranadiwirja, Grantung Lemah Abang, 18 April 1863, No. 25; Kiai Redjawirja, Pekiringan Lama, 10 Agustus 1869, No. 22, Kiai Tjakramenggala, Makam Bantal, 18 Agustus 1869, No 37, Kiai Patradiwirja, Grantung Kauman, 22 Agustus 1869, No. 13; Kiai Wangsadikrama, Makam Dhuwur, 8 Januari 1870, No. 36, Kiai Patrajoeda, Makam Jurang, 8 Januari 1870, No. 36; Kiai Kramasemita, Makam Panjang, 5 Mei 1872, No. 5; Kiai Mangoendipa, Makam Tengah, 11 Januari 1873, No. 6; Kiai Kertamedja, Rajawana Lor, 18 Juli 1873, No 4085; Kiai Somadiwirja, Tajug Kidul, 18 Juli 1873 No. 4085, Kiai Saradjiwa, Tajug Lor, 29 Januari 1877, No. 38, dan Kiai Kramadjiwa, Makam Kamal, 31 Januari 1880, No 20.
Akhirnya pada masa Kemerdekaan Indonesia, status perdikan dihapus oleh Pemerintah Republik Indonesia pada zaman Orde Lama. Berakhirnya kekuasaan 21 orang demang yang diyakini oleh masyarakat bahwa para demang telah melanggar piagam dan wewaler perdikan, tidak adil, serta memperkaya diri sehingga mereka harus diturunkan. Tanah-tanah perdikan dikuasai oleh para demang untuk kepentingannya sendiri, sehingga rakyat hidup terbengkalai, padahal, rakyat yang mencetak sawah-sawah dan kebun-kebun, sedangkan demang tinggal mengakui itu semua sebagai hak miliknya. Kejatuhan para demang itu sesuai dengan beberapa ramalan, seperti besuk ana bangke mili ngalor dan besuk ana beslit padha dicanthelake gethek.
Pada saat misi dakwah Islam yang dipimpin oleh Pangeran Machdum Khusen, terjadi penyerangan yang dilakukan oleh Pasukan Pajajaran seperti yang dikisahkan di atas. Pada saat itu, Pangeran Machdum Khusen meminta para perempuan untuk memainkan rebana besar. Setelah menuliskan syair doa untuk dilantunkan, Syekh Machdum Khusen bermunajat kepada Allah SWT. Ketika pasukan Pajajaran datang, suara dengung dari permainan rebana besar itu berubah menjadi kawanan tawon gung yang menyerang pasukan Pajajaran dan membuat mereka kalang kabut. Kemudian, dari sinilah muncul tradisi memainkan rebana besar yang disebut kesenian Braen.
Karena Braen adalah “Seni Doa dan Permohonan” maka Braen hanya dimainkan pada saat tertentu saja. Dan yang memimpin (Rubiyah) haruslah seorang wanita keturunan Syekh Machdum Khusen. Selain berisi syair sejarah, pendidikan Islam dan ketauhidan, Bran berisi doa yang dilantunkan dalam empat bahasa, yaitu bahasa Jawa, Arab, Melayu, dan Sunda. Braen dimulai sekitar pukul 22.00 selepas acara tahlil atau selamatan dan selesai pada pukul 03.00 dini hari. Braen dinyanyikan secara solo oleh Rubiyahnya kemudian diikuti oleh anggotanya bersama-sama. Jika menyimak Braen sampai selesai, maka akan merasa nggrenthes karena syairnya penuh dengan renungan kebijaksanaan. Syair dimulai dengan lagu “Tulung Matulung” meminta permohonan kepada Allah SWT. Dilanjutkan lagu “Rabanai”, lalu “Kawulatu” yang mengingatkan semua orang tentang agama Islam, dan mulai menceritakan penciptaan alam dengan lagu “Awang-uwung”. Dilanjutkan lagu “Adam Mawa” tentang penciptaan manusia, sampai diturunkannya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Lalu mulailah merasa suka kepada lawan jenis dalam lagu “Meneng-meneng”. Perjalanan manusia dikisahkan akan menikah dengan lagu “Taya-taya Robi” dan mempunyai anak dengan lagu “Maena Rijalulo”. Kemudian dalam lagu “Kawula Kinanti” diceritakan bagaimana hidup di dunia untuk dipertanggungjawabkan di akhirat. Lalu menceritakan malaikat beserta sifatnya termasuk mencabut nyawa manusia dalam lagu ”Malaekat”/ alalu sampai pada pertunjukan sakral dengan lagu ”Ya Walikul” dan “Yong Pada Memuji” dan biasanya terjadi kesurupan (ekstase). Sampai manusia akan meninggal untuk mengucapkan syahadat sebagai ucapan terakhirnya dengan lagu “Ayun-ayun Kalimut” dan “Ayun-ayun Ilahi”. Kemudian meninggal dan dimandikan dengan lagu “Sekar Arum”. setelah lagu Sekar Arum, pertunjukan Braen selesai dan diakhiri dengan lagu ”Dzikrullah” yang berarti mengingat Allah SWT.
Kesenian Braen bisa dikatakan merupakan bentuk syiar agama Islam dengan menggunakan lagu, yang kemudian dilakukan pula oleh Wali Sanga beberapa abad kemudian. Braen dalam setiap bagian lagunya menceritakan kehidupan manusia, mirip seperti Tembang Macapat. Selain Braen, di wilayah Cahyana juga ada budaya Slametan yang merupakan upacara penutup dalam ritual Slametan Ziarah Makam Syekh Jambu Karang. Ritual Slametan ini jamak sekali ditemukan dalam budaya Jawa, seperti yang disebutkan Greetz, bahwa di pusat seluruh sistem keagamaan orang Jawa terdapat sebuah upacara kecil, sederhana, formal, tidak dramatis dan hampir mengandung rahasia: slametan (terkadang disebut juga kenduren). Seperti di hampir semua tempat, ia melambangkan kesatuan mistik dan sosial dari mereka yang ikut serta di dalamnya. Handai taluan, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati serta dewa-dewa yang hampir terlupakan, semuanya duduk bersama dan karena itu, terikat ke dalam sebuah kelompok sosial tertentu yang berikrar untuk tolong menolong dan bekerja sama.
Cerita mengenai pertemuan Mahdum Khusen dengan pasukan Pajajaran itu konon katanya terjadi di sekitar tempat yang kini secara administratif disebut desa Tunjungmuli. “Tunjung” berarti pertemuan, dan “Muli” berasal dari kata “Milih” yang berarti kembali atau pulang. Setelah bertemu di tempat tersebut diceritakan pasukan Pajajaran kocar-kacir lari ke barat. Sebagian pasukan yang melarikan diri masuk ke hutan-hutan. Konon diceritakan pasukan ini hidup di atas pohon. Orang sekitaran desa Surau menyebut mereka sebagai Wong Alas Carang Lembayung. Mereka memiliki ciri-ciri fisik tidak memiliki tumit dan bibir atas, berambut panjang dan hidup nomaden di sekitaran hutan antara Gunung Gora (Gunung Slamet) dan Gunung Keraton.
Pola kehidupan yang masih lestari hingga saat ini di sekitaran wilayah Cahyana salah satunya adalah tradisi Gugur Gunung. Tradisi ini merupakan bentuk gotong-royong masyarakat wilayah Cahyana. Biasanya warga akan saling membantu pada saat salah satu warga desa akan membangun rumah. Kaum lelaki akan menyediakan tenaga dan iuran bahan bangunan, sedang kaum ibu akan sibuk di dapur menyiapkan makanan untuk para kaum lelaki yang bekerja. Kegiatan ini dilangsungkan sejak proses pembuatan pondasi rumah hingga genting terakhir selesai di pasang. Semangat gotong-royong ini masih sangat kental dan merekatkan tali persaudaraan antar sesama warga masyarakat wilayah Cahyana.
Meskipun wilayah Perdikan sudah dihapuskan sejak masa Republik dengan dikeluarkannya UU No. 13 Tahun 1946, petilasan dan makam para leluhur di wilayah Cahyana masih dijaga oleh para Juru Kunci. Juru Kunci ini kebanyakkan adalah anak keturunan para Demang masa Hindia Belanda. Penelusuran dari para beberapa peziarah di makam dan petilasan penyiar agam Islam di wilayah Cahyana menemukan beberapa fakta yang mengejutkan. Terdapat praktek-praktek keagamaan yang menyimpang bahkan masuk ke dalam kategori pesugihan. Dari berharap bisa menjadi kaya, meminta kode buntut (togel), hingga mahar-mahar yang disyaratkan oleh para juru kunci.
Gugurnya jalan yang menjadi rute ke tempat petilasan juga menyulitkan para peziarah untuk sampai ke petilasan, salah satunya jalan menuju Gunung Cahyana, gunung yang dipercaya menjadi tempat bertemunya Syekh Jambu Karang dengan Syekh Atas Angin. Keadaan yang memprihatinkan ini menjadikan beberapa orang yang peduli dengan kelestarian cagar budaya dan kebudayaan di wilayah Cahyana resah. Keresahan ini kemudian coba dikanalisasi dengan membentuk sebuqh Yayasan dalam rangka menjaga kelestarian peninggalan leluhur. Besar harapan Cacak dan Itan agar kelestarian budaya dan tradisi di Bumi Cahyana tetap lestari.
Penulis : Wisnu