Tidak ada Undang-undang melarang. Kebijakan hakim tidak menciptakan rasa keadilan

(Putret Indonesia.). Teori hukum Dead Horse Theory yang mana konsep kuda mati dipakai oleh seorang Hakim dengan membuat kebijakan mengusir keluar keluarga kandung terdakwa dari persidangan.

Agenda lanjutan pada tanggal 21 Januari 2025 di Pengadilan Negeri jakarta utara mengisahkan pedih atas kebijakan hakim yang sudah tiga kali mengusir keluar keluarga kandung terdakwa untuk menyaksikan dan mendengar langsung  jalannya persidangan yang berkeadilan.

Dari aturan hukum tidak ada satupun Undang-undang melarang keluarga seayah hadir menyaksikan persidangan, namun atas kebijakan hakimlah saudara kandung terdakwa tidak boleh mendengarkan jalannya persidangan. Ini sama saja hakim membuktikan bahwa kebijakannya mengunakan trik metafora satir yang menggambarkan bagaimana orang, lembaga, atau bahkan suatu bangsa menghadapi masalah yang sudah jelas, tetapi mereka justru bersikap seolah-olah masalah itu tidak ada atau tidak dipahami dengan alih-alih mengakui kenyataan, namun mereka justru mengabaikannya dan berusaha mencari pembenaran.

Sungguh sikap hakim yang kurang bijak dan kurang adanya rasa sikap adil terhadap keluarga terdakwa yang melarang hadir didalam sidang. Padahal mengenai asusila yang dijelaskan Pasal 153 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yang dilarang itu hanya masyarakat umum atau publik. Ironisnya sebelumnya ada sidang serupa yaitu sidang tertutup namun orang umum yang bukan keluarga kandung dapat hadir. Sementara UU mengatur tentang sidang yang boleh dapat hadir dalam proses persidangan di pengadilan hanya dinyatakan terbuka untuk umum.

Ini yang membuat tanda tanya saudara kandung terdakwa, Ada apa dengan pengadilan jakarta utara dengan menutup-nutupi terhadap keluarga terdakwa. Apakah ini ada dugaan bahwa perkara yang dipaksakankah atau ada yang sedang dilindungi agar tidak terkena penuntutan balik oleh keluarga terdakwa terhadap kotban atau pihak-pihak yang memperkarakan terdakwa. Kasus yang mempersangkakan terdakwa ini menarik untuk dicari fakta ceritanya yang sungguh aneh dan penuh kejanggalan dalam proses tindak pidana untuk mentersangkakan seseorang.

Dalam aturan proses hukum biasanya ada namanya delik penyelidikan oleh penyidik kepolisian untuk pengumpulan berkas dari tingkat P18 hingga P21. Kode-kode ini dituangkan dalam Keputusan Jaksa Agung Nomor: Kep 132/J.A/11/1994 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Nomor: Kep-1 20/Ja/ 12/1992 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Jaksa Agung Nomor: Kep-518/A/J.A/11/2001.

Keputusan P21 merupakan kode naskah formulir bahwa hasil penyidikan sudah lengkap, seperti yang dikatakan pada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu jika telah selesai melakukan penyidikan, maka penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum. Namun, jika perkara hasil penyidikan belum dinyatakan lengkap oleh kejaksaan, maka Jaksa Penuntut Umum belum siap dilimpahkan ke pengadilan. Sementar yang dipersangkakan sebagai pelaku tindak pidana, statusnya hanya sebatas tersangka saja, dan tidak bisa dilepaskan atau dibebaskan begitu saja dari segala proses hukum yang menjeratnya. Akan tetapi, seseorang bisa tidak lagi menyandang statusnya tersangka apabila perkaranya dilakukan penghentian penyidikan.

Dalam kasus sidang tertutup penuntut umum diduga penuh kejanggalan perkara, pernah ditayangkan pada laman media online potret Indonesia hingga berita ini berlanjut untuk menggambarkan ke publik bahwa sebuah kasus. Publik mesti paham kalau alur suatu perkara penuh dengan cerita fakta. Baik proses pada alat bukti maupun keterangan para sanksi. Untuk itu wartawan Potret Indonesia menelisik kasus yang sedang berjalan tersebut demi Hukum yang bermartabat, jujur dan berkeadilan dinegeri ini.

Pada persidangan tertutup dipengadilan Jakarta Utara yang lalu, terdakwa mengajukan epsepsi sebagai bentuk perlawanan atas perkara yang didakwakan terhadap dirinya karna dianggap tidak sesuai fakta yang dituduhkan pada pernyataan keluarga korban. Namun didepan hakim, Jaksa penuntut umum membuat pernyataan menolak epsepsi terdakwa, yang pada akhirnya sidang perkara berlanjut pada petusan sela yang mana pada putusan tersebut bertujuan untuk mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara yang bukan bersifat final.

Sidang perkara pada tanggal 10 Desember 2024 yang lalu, sanksi korban dari ayah mengklaim bahwa terdakwa telah menyetubuhi anak dibawah umur 11 tahun sebanyak 3x sedangkan sanksi ibu didepan hakim mengatakan terdakwa sudah melakukan sebanyak 6x melakukan pemaksaan persetubuhan dengan cara menarik tangan si anak ke atas kontrakan nya. Pernyataan sanksi ibu berubah ubah yang tidak sesuai pada BAP diatas tanda tangannya sendiri yang diberikan dalam keterangan saksi dikepolisian, sehingga Kasus yang diduga penuh kejanggalan dan rekayasa ini dengan saksi tunggal berani untuk memanjarakan terdakwa dengan dalih persetubuhan anak di bawah umur.

Pasal 242 KUHP lama yang masih berlaku mengatakan bahwa barang siapa dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Begitu pula Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Sidang lanjutan pada tanggal 31 Desember 2024 menghadirkan dua saksi yaitu saksi istri terdakwa dan saksi menyaksikan langsung kejadian yang menerangkan bahwa pada kejadian 6 November tidak seperti yang dituduhkan orang tua korban sebab kejadian tersebut cepat sekali yang tidak membutuhkan 1 menit tapi massa tambah ramai didepan kios lantaran teriak-teriak si ibu korban memprovokasi kami warga, yang pada akhirnya massa pun datang ke TKP yang kebetulan kamar kontrakan tersebut diatas kiosnya. Menurut sanksi istri si terdakwa yang mengetahui kejadian tersebut menerangkan bahwa waktu itu suaminya menjaga kios dan saya sedang sholat dirumah. Sehabis sholat kami pun bergantian menjaga kios dan tidak lama kemudian datang seorang ibu-ibu dengan nada tinggi seperti sedang marah-marah menghampiri kios dan menanyakan anaknya yang mengatakan mana anak saya lalu berlanjut masuk ke belakang kios menanyakan kepada suami nya dari bawah tangga yg tempat kontrakannya yang dianggap sebagai TKP.

Sementara saksi yang melihat fakta kejadian langsung mengatakan ibu korban marah-marah diatas pas depan luar pintu kamar kontrakan bicara kepada terdakwa mencari anaknya dengan menggedor-gedor pintu yang sedang tertutup terkonci  dari dalam. Sehabis dijedor gedor, anak tersebut keluar dari kamar dengan rasa cemas. Selang waktu singkat, sang itupun menanyakan kepada anak dengan berkata “kamu sudah diapakan oleh terdakwa. Namun 3x ucapan anak yg mengatakan tidak diapa-apain, ibu korban malah mentepeleng pipi si anak hingga dengan rasa cemas dan ketakutan si anak, ibu korban menyuruh anaknya pulang untuk panggil bapak hadir di TKP, namun setelah bapaknya hadir, sang bapak yg diprovokasikan istrinya sendiri hanya berujar “Ya nanti kita laporkan” Tanpa ada emosi dan marah-maeah seperti istrinya lakukan.

Pada sidang lanjutan berikutnya Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi ahli medis untuk menerangkan alat bukti visum et Repertum dengan nomor 255/IV/PKT/IX/2023 RSCM Cipto Mangun Kusumo pada tanggal 12 September 2023 yang isinya pada pemeriksaan ditemukan robekan lama pada selaput dara dan pada pemeriksaan alasan Liang segala ditemukan crystal mani. Namun dari keterangan tercatat tersebut dibawah sumpah kitab UU Kuhap, sang saksi ahli tidak dapat menerangkan DNA milik siapa didalam sidang dan malah mengatakan bahwa untuk mengidentifikasi DNA membutuhkan waktu 72 jam artinya 3 hari lamanya, namun sejak tahun 2023 hingga 2025 kini, DNA tidak dapat ditunjukan oleh ahli medis didepan hakim yang sudah mengeluarkan surat visium et Repertum tersebut.

Begitu pula pada sidang lanjutan pada tanggal 7 dan 14 Januari 2025, Penasehat Hukum terdakwa Sepra Yogi Lionel,.SH,.MH. menghadirkan dua saksi yaitu saksi ahli pidana dan saksi keluarga yang mendampingi terdakwa sejak awal hingga dinyatakan TSK serta satu sanksi fakta mantan penasehat hukum pemegang kuasa pertama patner lowyer penerima kuasa hukum.

Menurut sanksi ahli pidana mengatakan bahwa berdasarkan keahlinya di bidang pidana.  Prof. Dr. Hasudungan Sinaga, MM, MH menjelaskan terkait ketentuan hukum acara pidana mulai dari Proses awal sesorang ditetapkan sebagai tersangka hingga proses awal dapat dilakukan Visum et repertum dan menjadikan hasil visum sebagai alat bukti di persidangan. Prof. Dr. Hasudungan Sinaga, MM, MH menambahkan keterangannya bahwa terdapat keraguan terkait hasil dari alat bukti visum et repertum namun tetap dilakukan simple swab, itu artinya sebagai penunjang atau perbandingan bahwa ada keraguan pada alat bukti visium et Repertum. Jadi Jika sudah dilakukan visum et Repertum namun masih dilakukan pengambilan simple swab, maka disitulah terdapat keraguan terhadap hasil Visum yang di lakukan oleh pihak yang berwenang.

Sedangkan saksi keluarga, hakim tidak menerima memberikan persaksian nya walau saksi hanya menerangkan suatu peristiwa, yang pada akhirnya. Penasehat hukum terdakwa menghadirkan kembali saksi yaitu mantan patner kuasa hukum pertama terdakwa Charles Septiando,.SH, yang sejak awal mendampingi hingga mendampingi keluarga terdakwa sampai terjadinya simple swab di bulan Desember 2023 lalu dengan mengatakan bahwa pada saat hakim menanyakan status dirinya terhadap terdakwa kepadanya. Saksi menjawab bahwa dulu adalah bagian kuasa hukum terdakwa.

Dalam kasus terdakwa sampai dinyatakan tersangka, selama Charles mendampingi tidak mengetahuinya sebab dulu statusnya belum menjadi tersangka. Terdakwa belum bisa jadi tersangka dikarenakan alat bukti visium et Repertum tidak kuat sehingga dilakukan simple swab pada akhir bulan tanggal 19 Desember 2023, dan atas adanya simple swab, kami pun perna melaporkan penyidik ke propam polda metro jaya terkait dugaan bahwa simple swab yang menggunakan amplop coklat tidak di segel pita merah seperti yang dikatakan Dokpol sebelum diserahkan ke penyidik.

Pada saat sidang telah usai, disela-sela waktu santai, wartawan potret Indonesia mengkonfirmasi kepada ibu Imelda selalu Jaksa penuntut Umum (JPU), namun dia keberatan untuk direkam meminta keterangan tentang perkara tersebut.

Menurut Charles mengenai aturan penyerahan simple swab bahwaprnyerahan ke penyidik setelah adanya pemeriksaan di laboratorium, dan hasilnya akan diserahkan ke penyidik. Namun pada faktanya simple swab, penyidik langsung memintanya ke Dokpol yang memeriksa DNA terdakwa. Namun pada fakta yang sudah bergulir dalam BAP dipengadilan. Berkas Simple Swab sebagai pembandingan tersebut tidak ada. Sehingga saya yang mengetahui adanya dilakukan pemeriksaan simple swab di polres jakarta utara sangat menyayangkan untuk memberikan kebenaran keadilan dihadapanhakim didalam pengadilan. Ujarnya.

Saksi Charles melanjutkan disaat ditanyakan wartawan seusai sidang bahwa pada ptoses, penyidik pernah menghubunginya minta pendapat bahwa alat bukti visium et Repertum tidak kuat dan ini harus lakukan untuk dinaikkanmenjadi tersangka sebab keluarga korban menekan penyidik hingga pimpinan mengetahuinya. Yang anehnya adalah kepolisian itu kan pengayom masyarakat, kenapa bisa menerima tekanan dari korban untuk menaikkan perkara yang sudah hampir 1 tahun menjadi tersangka. Lanjutnya.

Seperti aturan prosedur dalam naskah formulir setiap proses hasil penyidikan jika sudah lengkap, dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), proses P21 mengatakan bahwa jika telah selesai melakukan penyidikan, maka penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum. Namun, jika perkara hasil penyidikan belum dinyatakan lengkap, maka naskah formulir perkara yang diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum belum bisa dilimpahkan ke kejaksaan.

Menurut Charles pasa kasus ini bisa naik menjadi P21 tidak mengetahui kenapa pihak kejaksaan menerima itu tapi menurut saya dalam buku Kuhap, bias sekali sebab penyidik tidak pernah melakukan Rengkutruksi mengkonfortir perbedaan jauh antara korban dan tersangka, begitu juga penyidik tidak pernah olah TKP, malah kami berinisiatif sendiri melakukan olah TKP pada bulan November 2023 melihat, meneliti dan memahami dimana alur pokok masalahnya dan harapan saya sebagai lowyer yang membidangi hukum baik perdata maupun pidana.

Kita sebagai pihak penegak hukum, bersikap jujurlah untuk masyarakat yang sedang mencari keadilan baik pengacara, Jaksa maupun hakim, janganlah kita menjatuhkan martabat hukum itu sendiri dan janganlah terlalu memaksakan sesuatu hal yang tidak bisa dipaksakan dan bersikaplah jujur serta kurniakanlah hati karna profesi kita ini sama-sama penegak hukum, baik jaksa, hakim, polisi, dan pengacara adalah penegak hukum maka dibutuhkan hati yang bersihbersih, jiwa yang bersih dan tidak memaksakan yang tidak bisa dipaksakan. Pesan motivasinya. (Fahrul Rozi)