Mendera Kaum yang Menderita. Jokowi Tegah, Yusril Pamer Kuasa

Saya berpapasan dengan seseorang yang bernama Jokowi ketika Taufiq Kiemas meninggal 8 Juni 2013. Kami berpapasan di pintu samping yang sempit dan dia mendahului membungkuk. Rasa kagum mengaliri seluruh syaraf2 saya menatap sosok kurus di depan saya sambil berkata dalam hati; ” ini orang setengah malaikat. Betapa santunnya”. Karena sosok itu adalah gubernur DKI
Kekaguman sebelas tahun silam itu hari ini berputar 180 derajat padahal ia baru saja empat hari melepas jabatannya.

Kagum saya byaaarr bak embun diterpa sinar mentari pagi. Itu setelah saya baca WA ibu Sumarsih tadi pagi-pagi bahwa selama Presiden Jokowi bercokol di istana, JSKK ( Jaringam Solidaritas Korban untuk Keadilam ) telah mengirim 476 surat. Namun tragis,tak pernah ada jawaban.

Selain 476 surat, tidak mungkin Jokowi tidak tahu bahwa setiap Kamis sore. orang tua dan keluarga korban peristiwa tragedi 1998 bersama para pemerhati yang mengkordinir diri lewat JSKK ( Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan ) berdiri di seberang istana. Tidak perduli panas atau hujan, kabut atau terik, pk.15.00 – 17.00 WIB, mereka berbanjar dengan payung hitam.

Aksi Kamisan demikian wartawan menyebut kegiatan rutin yang sudah berlangsung selama 17 tahun tanpa pernah jedah itu, mereka lakukan untuk menagih keadilan atas anak dan keluarga mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM selama beberapa tahun.

Terhadap masalah tsb. negara sudah menyiapkan UU No 26 tahun 2006 tentang pengadilan HAM. Karena itu, bagi Ibu Sumarsih dan JSKK yang menjadi pelopor Aksi Kamisan, tidak penting ada Kementerian HAM. ” Yang harus dilakukan, laksanakan perintah UU,yah adili pelakunya” tulis Ibu Sumarsih leaat WAnya.
Itulah permintaan mereka yang memulai Aksi Kamisan sejak 18 Januari 2007, 17 tahun silam dan hari ini Kamis 24 Oktober 2024 adalah yang ke 837 kàlinya.

476 surat, 837 kali dan tak sekalipun Jokowi merespon. Padahal 20 Oktober 2014 ia bersumpah; akan menjalankan segala undang-undang dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya …
Jokowi sudah meninggalkan istana 4 hari lalu, dan hari ini ibu Sumarsih bersama JSKK akan berdiri yang ke 837 kalinya di depan istana menanti keadilan. Bersurat dan berdiri setiap Kamis untuk mengingatkan Jokowi tentang sumpahnya dan ternyata ia tak sekalipun merespon. Seorang presiden bisa abai sumpahnya, tak merespon sekalipun dari 476 surat dan membiarkan para orang tua dan keluarga korban berdiri sampai ratusan kali tanpa perduli, bukankah itu sebuah penyiksaan dalam bentuk yang lain ? Menderah mereka yang sedang nenderita adalah sebuah bentuk penyiksaan. Koq Jokowi tegah ? Sungguh kejam, maka sirnalah sebuah kekaguman awal padanya.

Tiga hari lalu Yusril yang konon pakar hukum tata negara usai dilantik sebagai Menko Hukum dan HAM dengan enteng menyatakan tidak ada pelanggaran HAM berat kecuali zaman penjajahan. Ucapan Yusril, ibarat perasan jeruk pada luka orang tua dan keluarga korban pelanggaran HAM selama orde baru sampai sekarang. Yusril menyatakan itu setelah juga mengucapkan sumpah; akan menjalankan segala undang-undang dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya…… Ah kayaknya, sumpah hanya sekedar syarat yang harus dibaca di awal jabatan, bahkan juga seorang yang bergelar professor sekalipun.

Sekalipun demikian buat orang tua dan keluarga korban pelanggaran HAM bersama JSKK, tetaplah semangat untuk terus berjuang untuk sepenggal keadilan.

Konsisten sangat mahal,
Pragmatisme selalu temukan alasan.

Jacobus K. Mayong Padang, TG ( tanpa gelar )

Kalibata, duaempatsepuluhduanolduaempat.