Mahfud: Antara Negara dan Ulama

JAKARTA, Perkembangan intoleransi terhadap keberagaman agama terus menjadi perhatian bagi pemerintah. Berbagai permasalahan sosial yang muncul akibatnya — seperti kericuhan berbasis keagamaan — mendorong pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD untuk merancang suatu kerja sama dengan para ulama.

Intoleransi di tanah air ditemukan meningkat sejak tahun 2015 – menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta dengan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai kandidat petahananya. Tren itu berlanjut hingga menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) yang diadakan pada tahun 2019. Kemungkinan, hal tersebutlah yang mendorong pemerintah hingga berencana untuk bekerjasama dengan para pemuka agama yang dianggap bisa meredam intoleransi dan berbagai permasalahannya.

Jika kita memperhatikan kasus-kasus intoleransi di Indonesia dengan jeli, banyak di antaranya memang sangat bernuansa politis dan terjadi pada saat-saat yang politis, seperti pilgub dan pilpres. Hal tersebut sejalan dengan kekhawatiran Nahdliyin – sebutan untuk pengikut Nahdlatul Ulama (NU) – seperti Yenny Wahid dan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas.

Menjelang Pilpres 2019, Yenny pernah menghimbau masyarakat terhadap peningkatan intoleransi. Himbauan tersebut juga nantinya akan dibenarkan oleh Menag Yaqut ketika dirinya menjabat di kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi)..

Suatu peringatan yang tidak bisa dianggap ringan menimbang terjadinya kekalahan Ahok dalam Pilgub DKI 2017 yang sedikit banyak dipengaruhi oleh intoleransi. Kenyataan bahwa perpolitikan nasional semakin dipengaruhi oleh pandangan keagamaan yang sempit dipertegas dengan perolehan survei milik Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang pada saat itu menunjukkan bahwa sebanyak 52 persen warga Muslim tidak menyetujui terpilihnya seorang gubernur yang tidak beragama Islam.

Sayangnya, beberapa pihak tidak membatasi sikap dan tindakan intoleran mereka di ranah perpolitikan, tetapi merambat juga ke ranah sosial. Siapa yang tidak ingat dengan kasus penistaan agama yang menimpa Ibu Meilliana ketika beliau memprotes volume pengeras suara sebuah masjid di Kota Medan? Imbas tindakannya, beliau dilaporkan oleh warga setempat kepada pihak kepolisian dan dikenakan pasal terkait penistaan agama

Lantas, wajar saja apabila Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa kerja sama antara ulama dan pemerintah sebagai perpanjangan tangan negara sangat penting untuk diwujudkan. Dengan tujuan untuk memberikan bimbingan dan menjadi jembatan di dalam konflik-konflik yang mungkin terjadi di kemudian hari, peran ulama bisa menjadi aspek yang penting dalam jalannya pemerintahan.

Demikian, terdapat sekurang-kurangnya tiga pertanyaan yang bisa disampaikan. Pertama, Bagaimana kerjasama ini bisa menetralisir intoleransi dari umat yang beragama Islam? Kemudian, apakah kerja sama ini bisa membuahkan hasil yang diinginkan? Terakhir, Bagaimana jika nantinya gagal?

Agamawan di Pemerintahan

Perpolitikan dan pemerintahan di Indonesia memang tidak pernah bisa dipisahkan dengan kehadiran tokoh-tokoh keagamaan – terutama yang beragama Islam. Hal tersebut semakin diperkuat dengan keputusan Presiden Jokowi untuk menggandeng mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin sebagai wakil presidennya – suatu pilihan yang sangat memperkuat citra dan elemen keagamaan di dalam tubuh pemerintahan.

Dalam salah satu wawancaranya, Presiden Jokowi mengakui bahwa salah satu alasannya memilih Ma’ruf sebagai wakil presiden (wapres) adalah karena dirinya memiliki kemampuan untuk menjadikan pemerintah yang nantinya berkuasa siap untuk menegakkan kerukunan antara suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Jokowi menegaskan bahwa dirinya dan Ma’ruf ingin menjaga persatuan, kerukunan, dan persaudaraan antara warga Indonesia.

Kita bisa melihat bahwa Jokowi memosisikan Ma’ruf sebagai alat untuk meredakan ketegangan-ketegangan sosial-politik yang bersumber dari sikap intoleransi beberapa pihak. Sikap sama yang menepis kesempatan Ahok untuk terpilih kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 silam dan bisa mengganggu kestabilan pemerintahan periode kedua Jokowi yang dianggap berseberangan dengan kubu Islamis garis keras.

Semua ini sesuai dengan tesis inclusion-moderation yang disampaikan oleh Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ibnu Nadzir dan Yogi Setya Permana. Berdasarkan tesis tersebut, pelibatan aktor-aktor yang berpotensi mengganggu pemerintahan dan masyarakat dengan pandangan-pandangan radikalnya dilakukan untuk menjadikan mereka lebih moderat melalui perubahan sikap dan tujuan. Dalam kasus ini, pelibatan Ma’ruf sebagai seorang tokoh Islam dilakukan untuk memoderasikan gerakan-gerakan Islamis di Indonesia.

Selain Ma’ruf, kita juga menemukan tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Ali Mochtar Ngabalin, Din Syamsudin, dan Yaqut Cholil Qoumas yang tergabung dalam pemerintahan Jokowi. Hal ini menunjukkan bahwa ujaran Mahfud untuk merancang suatu kerjasama antara ulama dan negara bukanlah ide yang baru di dalam DNA pemerintahan Jokowi.

Bisa Memunculkan Konflik?

Pelibatan tokoh-tokoh keagamaan – baik ulama atau bukan – memang terbukti bermanfaat bagi pemerintahan Jokowi. Beberapa seperti Ali Mochtar Ngabalin berdiri sebagai penangkis serangan-serangan bernuansa keagamaan terhadap pemerintahan.

Beliau pernah mengatakan bahwa sosok pemerintah di dalam agama Islam tidak boleh difitnah dan dicaci maki. Demikian, beliau memaparkan suatu dampak teologis yang serius bagi pihak-pihak yang ingin menyampaikan kritikan-kritikannya dengan cara yang tidak konvensional.

Sementara itu, terdapat pula sosok seperti Yaqut yang membenturkan pemahaman lama yang konservatif dengan pernyataannya dalam perayaan Natal pada tahun 2020 silam. Beliau menjadi menteri agama (menag) pertama yang menyebutkan nama Yesus Kristus secara lugas – suatu tindakan baru yang belum pernah dilakukan oleh menag-menag sebelumnya.

Kendati demikian, apakah pelibatan mereka selalu bermanfaat dan membuahkan hasil yang bagus? Penelisikan teliti terhadap hubungan antara pemerintah dan salah satu organisasi keagamaan yang terdekat dengannya menunjukkan bahwa terdapat beberapa permasalahan serius yang muncul dari kerjasama atau sekurang-kurangnya kedekatan antara pemerintah dan pihak-pihak yang berunsur ulama.

Sebagai contoh, pernyataan Yaqut bahwa Kementerian Agama (Kemenag) di Indonesia merupakan hadiah negara kepada organisasi keagamaan asalnya Nahdlatul Ulama (NU) sempat mengundang kontroversi. Sebelum diklarifikasi sebagai ucapan penyemangat belaka, pernyataan Yaqut dikritik oleh mantan Ketua MUI Anwar Abbas sebagai suatu bentuk sikap tidak hormat terhadap kehadiran dan elemen umat Islam lainnya di Indonesia.

Konflik tersebut menaikkan perselisihan antara organisasi-organisasi keagamaan di Indonesia ke permukaan. Anwar yang dan beberapa rekannya yang beridentitas selain NU merasa hak mereka untuk terinklusifkan di masyarakat direnggut oleh pernyataan Yaqut.

Perasaan tersebut sejalan dengan penjelasan Francis Fukuyama di Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment yang membahas identitas sebagai sumber beberapa konflik. Dalam kasus ini, suatu kerjasama atau kedekatan antara pemerintah dan elemen-elemen yang berunsur ulama berpotensi menimbulkan perpecahan.

Pedang Bermata Dua?

Satu lagi alasan mengapa pemerintah harus berhati-hati dalam merancang dan melaksanakan suatu kerjasama dengan para ulama dan elemen-elemen seputarnya bisa kita lihat dalam langkah MUI DKI Jakarta dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Tentunya, contoh ini diungkit apabila kita ingin menggunakan sudut pandang pemerintah beberapa pihak pro-pemerintah di kalangan buzzer. Mereka memandang Anies sebagai oposisi dari Jokowi dan pemerintahannya.

Dalam kebijakan MUI untuk membentuk suatu cyber army yang ditujukan untuk melindungi Anies dan para ulama yang kerap diserang buzzer, kita bisa melihat adanya indikasi kerjasama pemerintah di tingkat daerah dan ulama. Lebih penting lagi untuk diperhatikan, kerjasama ini merupakan alternatif reaksioner terhadap hal serupa yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah Jokowi. Ke depannya, mereka bisa saja menyediakan bobot yang substantif secara keagamaan kepada pihak-pihak yang memiliki sikap kontra terhadap beberapa pandangan dan kebijakan pemerintah.

Kasus ini menunjukkan bahwa penggandengan organisasi-organisasi keagamaan yang berunsur ulama tidak hanya dilakukan oleh kubu yang selama ini kita anggap pluralis dan toleran, tetapi juga oleh lawan-lawan mereka. Jika kita membayangkan suatu skenario jangka panjang, tidak menutup kemungkinan apabila skema kerja sama yang kini disusun oleh pemerintahan Jokowi nantinya digunakan oleh pihak-pihak yang berpandangan keagamaan lebih keras untuk melancarkan agenda mereka – tentunya setelah mereka memenangi suatu pemilu.

Permasalahan seperti ini terjadi di Turki semasa kepemimpinan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Direktorat Urusan Agama yang awalnya dibentuk oleh pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk pada tahun 1924 untuk melindungi sekularisme Turki mengalami pengalihan fungsi.

Di bawah penguasaan Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), direktorat tersebut menjadi alat untuk mengenalkan pola kehidupan keagamaan yang lebih konservatif. Oleh karena itu, suatu kerjasama serupa harus diberikan pembatasan-pembatasan yang jelas.

Demikian, perencanaan dan pelaksanaan suatu kerjasama negara dan ulama harus dilakukan sebaik mungkin. Salah langkah yang dilakukan oleh pemerintah bisa berdampak fatal bagi kehidupan keagamaan di Indonesia. Menarik untuk kita lihat keberlanjutannya. (avd)