Tahun 2008, Jalan Tol Prof Sedyatmo, yakni jalan bebas hambatan dari dan menuju Bandara Soekarno Hatta, khususnya KM 26-27, seringkali mengalami penutupan akses yang disebabkan banjir. Penutupan terkadang berlangsung lebih dari satu hari. Penutupan ini sangat jelas merugikan ekonomi nasional.
Oleh karena itu, guna mengatasi persoalan tersebut, pemerintah melakukan proyek pelebaran dan peninggian jalan. Salah satu kontraktornya adalah PT Istaka Karya di mana PT Istaka Karya mengerjakannya dengan melibatkan sejumlah subkontraktor dan supplier.
PT Istaka Karya dengan mitranya tuntas mengerjakan proyek tersebut. Akses dari dan menuju Bandara Soekarno Hatta menjadi lancar. Masyarakat dan pemerintah senang.
Namun, mirisnya, subkontraktor dan supplier yang mengerjakan proyek pelebaran jalan itu, ternyata tidak menerima pembayaran sepenuhnya. Bahkan belum sama sekali sejak proyek selesai.
Waktu berjalan, di tahun 2012, PT Istaka Karya digugat PKPU. Gugatan PKPU ini melahirkan hamologasi atau perjanjian perdamaian. Perjanjiannya, utang para kreditur dikonversi menjadi saham. Saham akan dibeli kembali di tahun ke 9.
Lagi-lagi peristiwa miris terjadi. Di tahun ke-9 atau tahun 2021, Istaka Karya sebagai perusahaan pelat merah (BUMN), yang seharusnya membayar saham atau utang kepada para mitranya kembali ingkar janji.
Semakin miris, pemerintah melalui Menteri BUMN, Erick Thohir, merencanakan membubarkan PT Istaka Karya. PT Istaka Karya dianggap BUMN hantu.
Alhasil, masuk tahun 2022, perusahaan BUMN lainnya, yakni PT PPA (Perusahaan Pengelola Aset) yang juga menjadi pemegang saham di PT Istaka Karya secara diam-diam menggandeng subkontraktor dan supplier mitra Istaka Karya untuk menggugat pembatalan hamologasi.
Upaya tersebut dengan melibatkan mantan petinggi asosiasi pengurus dan kurator Indonesia. PPA dan Kurator itu yang mengatur upaya pembatalan hamologasi di mana ujungnya Istaka Karya menjadi pailit.
(Prosesnya: Kurator dan PPA mengajak kreditur — pemegang saham seri C, tagihan ratusan juta — untuk gugat hamologasi dengan iming-iming akan dibayar piutangnya).
Pailit itu lantas menjadi dasar Presiden Jokowi mengeluarkan PP Pembubaran Istaka Karya.
Subkontraktor dan supplier gigit jari. Padahal, sejak proyek selesai dikerjakan, hasilnya langsung bisa dinikmati masyarakat, memberi pemasukan buat pemerintah, serta pengelola jalan tol.
Sebaliknya, para subkontraktor dan supplier yang mengalami penderitaan lahir dan batin selama 12 tahun lebih. Diantaranya, PT Saeti Concretindo Wahana dan Saeti Beton Pracetak. Dua perusahaan ini tidak saja mengalami kerugian lebih dari Rp6 miliar, tetapi beban operasional selama 12 tahun menunggu pembayaran piutang dengan tetap membayar gaji karyawan, tagihan Bank, pajak, dan lain sebagainya.
Penderitaan paling mendasar, kepercayaan mereka terhadap pemerintah drastis hilang. Pemerintah Indonesia tak ubahnya pemerintah penjajah. Bahkan lebih dari penjajah Belanda atau Jepang yang menerapkan kerja rodi atau romusha. “Ini lebih keji. Sangat keji. Tidak punya hati,” cetus pemilik perusahaan yang enggan disebut namanya.