Diduga Warga Subang Korban TPPO Berkedok LPK di Gugat Ganti Rugi 130 Juta, Ini Penjelasan Pakar Hukum Ternama @MDP

Potret Indonesia, Bandung – Viral, modus baru dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Tatar Pasundan Jawa Barat dengan kedok Lembaga Pendidikan Kerja (LPK) semakin mengkhawatirkn tepatnya di Kabupaten Subang. Prihatin dengan kondisi tersebut, Assoc. Prof. Dr. Musa Darwin Pane berharap seluruh stakeholder saling sinergi guna menekan angka TPPO di Jawa Barat, (Senin, 17/02/2025).

Dikutip dari media Berita Lima dengan link berita; Gadis asal Subang Korban Mail Order Bride – (https://youtu.be/z0Gk0_E-ke4?si=5ArgSkva96cJeK4h), TPPO Modus Pengantin Pesanan – (https://youtu.be/YXsCsQCx0UE?si=MDYBrNq8sZwt1nII), LPK Diduga Kedok TPPO Modus Pengantin Pesanan – (https://youtu.be/FSWlpFllzJY?si=_JqbR3T8xAyHtSgl) yang merilis pemberitaan dugaan TPPO yang terjadi Kabupaten yang berjuluk Kota Nanas Madu dengan modus berkedok LPK. Guna memuluskan tujuannya, oknum menawarkan dengan iming-iming kesejateranan ekonomi kepada salah satu korban berinisial TH warga Dusun Sumursari Desa Kebondanas, Kecamatan Pusakajaya, Kabupaten Subang agar bersedia dan mau dikirim ke Beijing, Cina untuk dinikahkan dengan warga disana.

Pengakuan keluarga korban, pernikahan tersebut dilaksanakan di KUA Cilamaya Kulon, Karawang, Jawa Barat. Namun, seperti apa proses kelengkapan dokumen pernikahan pasangan yang berbeda keyakinan dan Negara ini masih dalam penelusuran.

Dikarenakan keinginan korban yang ingin pulang ke Tanah Air karena merasa dibohongi dan tuntutan ganti rugi sebesar 130 juta dari pihak oknum LPK tersebut, akhirnya pihak keluarga korban pun melaporkan dugaan kasus tersebut ke Polres Subang. Menindaklanjuti pelaporan tersebut, Polres Subang memfasilitasi proses Restorasi Justice hingga muncul perjanjian jika pihak penyalur (LPK) berjanji untuk memulangkan korban pada tanggal 10 Februari 2025 kemarin, namun kenyataanya sampai berita ini dirilis janji tersebut tidak dilaksanakan.

Menanggapi kondisi tersebut, secara eksklusif Assoc. Prof. Dr. Musa Darwin Pane, S.H, M.H pun angkat bicara. Pria yang pernah didapuk sebagai Ketua Peradi Kota Bandung ini prihatin dengan kejadian tersebut. Menurutnya, perlu adanya koloborasi dan sinergisitas antara aparatur penegak hukum (APH) dan juga Pemerintah serta melibatkan masyarakat termasuk tokoh agama dan kebudayaan agar dapat menekan TPPO.

“Perlu adanya koloborasi dan sinergisitas antara aparatur penegak hukum (APH) dan juga pemerintah serta melibatkan masyarakat termasuk tokoh agama dan kebudayaan agar dapat menekan TPPO,” jelas Ahli Hukum FH Unikom ini.

Adanya Restorasi Justice dari pihak Polres Subang, lanjut MDP, haruslah melihatnya secara kasuistis. Menurutnya, Restorasi Justice haruslah diberlakukan untuk semua kasus tindak pidana mengingat tujuan dan penegakan hukum haruslah berdasarkan Pancasila.

“Perihal adanya informasi saran untuk mediasi (restorasi justice) dari pihak Polres Subang, tentu melihatnya secara kasuistis. Mana yang perlu penegakan hukum lanjut ke proses Pengadilan. Mengingat penegakkan hukum di Indonesia haruslah berdasarkan Pancasila yang bukan berfokuskan pada memenjarakan seseorang. Keadilan restoratif saat ini masih dibatasi untuk perkara perkara tertentu, namun bagi saya kalau mau merujuk pada penegakkan Pancasila, ya sebaiknya berlaku untuk semua termasuk pembunuhan dan lain lain,” lanjut pria yg akrab disapa MDP ini.

“Tujuan Hukum harus memberikan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan juga ketertiban bagi masyarakat. Pemerintah Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif perlu ada kesepahaman bersama juga dalam penanganan kasus TPPO, memang TPPO sebagai Pidana Khusus diatur diluar KUHP namun perlu dipertimbangkan bersama untuk mencari solusi terbaik yang tidak bertujuan memenuhi penjara. Perlunya saksi kerja sosial bagi pelaku dan lain sebagaimya yang mungkin bisa menjadi efek jera dibandingkan penjara,” pungkasnya.

Disisi lain, Prof. Machud MD pun dengan tegas telah menjelaskan, khusus kasus TPPO tidak diberlakukan restorasi justice dikarenakan menurutnya memang kasus tersebut selain merupakan tindak pidana khusus dan merupakan kejahatan serius yang melanggar hak asasi manusia (HAM).

“Tindak pidana serius itu tidak ada restorative justice. Tindak pidana perdagangan orang enggak ada damai, itu pidana berat, harus dijebloskan ke penjara pelakunya,” kata Mahfud dalam acara peringatan Hari Migran Sedunia di Depok, Rabu (20/12 – dikutip dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231220204546-12-1039915/amarah-mahfud-md-di-tppo-tak-ada-damai-di-kasus-perdagangan-orang).

“Saya bilang, enggak boleh. Korban boleh nerima uang, tapi tindak pidananya enggak hilang. Restorative justice itu perdamaian untuk pidana-pidana yang kecil. Kalau kejahatan-kejahatan besar, pencucian uang, perdagangan orang, korupsi, pembunuhan berencana, penyelundupan, itu enggak ada restorative justice-nya,” pungkasnya.

Seperti diketahui bersama, jerat Pasal 2, 4, 9, dan 10 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO serta pasal-pasal dalam UU RI Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI dengan ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara dan denda hingga Rp15 miliar pun disiapkan untuk para oknum pelakunya..!! (bersambung- TDe PotInd/tim B5)