Bukan Sekadar Tukar Kursi, Haidar Alwi Nilai Reshuffle Kabinet sebagai Koreksi Arah Nasional

R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menegaskan bahwa reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto pada 8 September 2025 adalah peristiwa politik penting yang tidak boleh dipandang sebatas pergantian nama menteri. Haidar Alwi melihat langkah ini sebagai upaya merestorasi dua hal mendasar yang tengah diuji bangsa: keamanan nasional yang sempat terguncang akibat gelombang unjuk rasa, serta fondasi ekonomi rakyat yang membutuhkan arah baru setelah pergantian Menteri Keuangan dari Sri Mulyani ke Purbaya Yudhi Sadewa.

Ekonomi Rakyat dan Ujian Menteri Keuangan Baru.

Pergantian Sri Mulyani dengan Purbaya Yudhi Sadewa membawa sinyal perubahan besar dalam orientasi fiskal Indonesia. Sri Mulyani selama ini dikenal sebagai penjaga kredibilitas di mata pasar global, sementara Purbaya datang dengan reputasi teknokrat yang pernah memimpin Lembaga Penjamin Simpanan. Perubahan ini jelas menunjukkan keinginan pemerintahan Prabowo untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih agresif.

Purbaya langsung mengumumkan target pertumbuhan 8% yang ia sebut bukan mustahil. Haidar Alwi menilai ambisi itu perlu disambut dengan optimisme, namun sekaligus kewaspadaan. “Pertumbuhan tinggi tidak boleh menjadi fatamorgana yang hanya dinikmati oleh elit dan investor asing. Negara harus memastikan manfaatnya sampai ke petani, nelayan, buruh, dan pelaku koperasi desa,” tegas Haidar Alwi.

Haidar Alwi menekankan bahwa arah kebijakan fiskal harus tetap berpijak pada Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan pengelolaan kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tantangan Menkeu baru bukan hanya menjaga angka defisit dan stabilitas rupiah, tetapi bagaimana kebijakan fiskal bisa menyentuh langsung kebutuhan rakyat: subsidi tepat sasaran, pembiayaan UMKM, hingga pembangunan infrastruktur desa. Jika Purbaya hanya berfokus pada angka makro, maka visi pertumbuhan 8% akan hampa.

Restorasi Keamanan dan Kepercayaan Publik.

Keputusan Presiden Prabowo untuk mencopot Menko Polhukam Budi Gunawan setelah kerusuhan demonstrasi adalah tanda bahwa negara tidak boleh membiarkan kegaduhan berlanjut tanpa koreksi. Haidar Alwi menilai langkah ini bukan sekadar reposisi politik, melainkan sinyal kuat bahwa koordinasi keamanan harus dipulihkan agar rakyat kembali percaya.

“Menko Polhukam adalah jantung koordinasi keamanan dan hukum. Ia harus bisa mengintegrasikan peran Polri, TNI, intelijen, hingga masyarakat sipil dalam menjaga stabilitas nasional. Jika jantung ini melemah, maka tubuh negara akan sakit,” jelas Haidar Alwi.

Menurutnya, Polri di bawah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah menunjukkan kinerja profesional dengan program Presisi, tetapi tanpa payung koordinasi yang kokoh, sinergi bisa terpecah. Karena itu, figur pengganti Menko Polhukam haruslah orang yang memiliki keberanian moral, integritas, dan kemampuan membangun kepercayaan publik. Restorasi keamanan bukan tentang menekan suara rakyat, tetapi memastikan hak demokratis dijaga tanpa mengorbankan ketertiban umum.

Layanan Publik, Migran, dan Koperasi: Wajah Negara di Mata Rakyat

Reshuffle ini juga melahirkan kementerian baru: Kementerian Haji dan Umrah. Haidar Alwi menilai kementerian ini akan menjadi wajah nyata pemerintah di mata umat. Pelayanan haji dan umrah bukan sekadar soal teknis kuota, tetapi soal amanah ibadah yang menyangkut keimanan jutaan rakyat Indonesia. “Haji dan umrah adalah ibadah suci, jangan sampai dikotori oleh komersialisasi dan birokrasi berbelit,” kata Haidar Alwi.

Selain itu, masuknya Mukhtarudin sebagai Menteri Perlindungan Pekerja Migran dan Ferry Juliantono sebagai Menteri Koperasi juga punya arti besar. Migran adalah pahlawan devisa yang selama ini masih kerap diperlakukan tidak adil. Negara harus hadir melindungi mereka dari calo dan biaya tinggi. Sementara itu, koperasi adalah sokoguru ekonomi bangsa. Menurut Haidar Alwi, tugas Menteri Koperasi adalah mengembalikan koperasi ke perannya yang asli: membangun kekuatan ekonomi rakyat di sektor riil, mulai dari pangan, tambang rakyat, hingga industri kreatif desa.

Haidar Alwi menegaskan bahwa reshuffle ini akan bernilai jika para menteri baru menunjukkan hasil nyata dalam 100 hari pertama: layanan jamaah yang lebih transparan, perlindungan migran yang lebih kuat, dan program koperasi yang benar-benar mengangkat ekonomi rakyat kecil. Jika itu bisa diwujudkan, maka rakyat akan merasakan bahwa negara benar-benar hadir untuk mereka.

Bagi Haidar Alwi, reshuffle kabinet 8 September 2025 adalah momentum penting yang bisa menjadi titik balik pemerintahan Prabowo. Momentum ini harus dipahami bukan sebagai dagang kursi politik, tetapi sebagai koreksi arah demi menguatkan bangsa.

“Jika ekonomi dikelola dengan keadilan, keamanan ditegakkan dengan kepercayaan, dan pelayanan publik dijalankan dengan ketulusan, maka reshuffle ini akan tercatat sebagai langkah emas Presiden Prabowo. Tetapi jika hanya berhenti pada bagi-bagi jabatan, publik akan kecewa, dan sejarah akan mencatatnya sebagai kehilangan momentum,” pungkas Haidar Alwi.